Selasa, 30 Juni 2009

ISLAM

PENGERTIAN ISLAM
A. Pengertian Islam
Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:

Pertama.
Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang telah di-tentukan dan ditakdirkan, sebagaimana firman Allah SWT tentang Nabi Ibrahim ‘Alaihis salam.
"(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.’” [Al-Baqarah: 131]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
"Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [QS. Ali ‘Imran: 85]

Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, definisi Islam adalah:

"Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan men-tauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya"

Kedua
Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan harta-nya[2], baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati.[3]
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [Al-Hujuraat : 14]

B. Tingkatan Islam
Tidak diragukan lagi bahwa prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim ada tiga, yaitu; (1) mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal agama Islam beserta dalil-dalilnya dan (3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua dari prinsip agama ini dan padanya terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Setiap ting-katan mempunyai rukun sebagai berikut:

A. Tingkatan Pertama :
Islam memiliki lima rukun, yaitu:
[1]. Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
[2]. Menegakkan shalat.
[3]. Membayar zakat.
[4]. Puasa di bulan Ramadhan.
[5]. Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.

Kelima rukun Islam ini berdasarkan sabda Nabi Mu-hammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

"Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana.”

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

"Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.”

B. Tingkatan Kedua :
Iman, Definisi iman menurut Ahlus Sunnah mencakup per-kataan dan perbuatan, yaitu meyakini dengan hati, meng-ikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan, dapat bertambah dengan ketaatan dan dapat ber-kurang dengan sebab perbuatan dosa dan maksiyat.
Iman memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana ter-dapat dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

"Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang iman.”

Rukun Iman ada enam, yaitu:
[1]. Iman kepada Allah.
[2]. Iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya.
[3]. Iman kepada Kitab-Kitab-Nya.
[4]. Iman kepada Rasul-Rasul-Nya.
[5]. Iman kepada hari Akhir.
[6]. Iman kepada takdir yang baik dan buruk.
Keenam rukun iman ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dalam jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perrtanyaan Malaikat Jibril ‘Alaihis sallam tentang iman, yaitu:
"Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan buruk.”


C. Tingkatan Ketiga:
Ihsan memiliki satu rukun yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia me-lihatmu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dalam kisah jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jibril ‘Alaihis salam ketika ia bertanya tentang ihsan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

"Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka bila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.”

Tidak ragu lagi, bahwa makna ihsan secara bahasa adalah memperbaiki amal dan menekuninya, serta meng-ikhlaskannya. Sedangkan menurut syari’at, pengertian ihsan sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

"Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu"

Maksudnya, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ihsan dengan memperbaiki lahir dan batin, serta menghadirkan kedekatan Allah Azza wa Jalla, yaitu bahwasanya seakan-akan Allah berada di hadapannya dan ia melihat-Nya, dan hal itu akan mengandung konsekuensi rasa takut, cemas, juga peng-agungan kepada Allah Azza wa Jalla, serta mengikhlaskan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan memperbaikinya dan mencurahkan segenap kemampuan untuk melengkapi dan menyempurnakannya .

IHSAN

PENGERTIAN IHSAN
Ihsan berasal dari kata أحسن يحسن , yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah احسان , yang artinya kebaikan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.
إن أحسنتم أحسنتم لأن�?سكم
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (al-Isra’: 7)
وأحسن كما أحسن الله إليك
“…Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (al-Qashash: 77)
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah SWT.

A. Landasan Syar’i Ihsan.
Pertama, Al-Qur`anul Karim.
Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.
“…Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (an-Nahl: 90)
“…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….”(al-Baqarah: 83)
“…Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahayamu….” (an-Nisaa`: 36)
Kedua, As-Sunnah.
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, ”Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik…” (HR. Muslim)

B. TIGA ASPEK POKOK DALAM IHSAN
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.
a. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
b. Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.
Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.

2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3. Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Pertama, Tingkat Takwa.
Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk katagori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketaqwaan masing-masing.
Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sangsi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Namun, ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.

Kedua, Tingkat al-Bir.
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.
Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala didalamnya.
Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur qaidah iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya.
”…Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (al-Baqarah: 189)
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)

Ketiga, Tingkatan Ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.

c. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut, ”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.
“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (al-Israa’: 23-24)
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda, “Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.
Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman, ”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, ”Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, ”Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
Ketiga, ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”
Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa—dari Kaum Muslimin—yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani)
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, ”Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.” (HR. ath-Thabrani)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.
Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.
Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, ”Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua suapan.” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT menutupnya firman-Nya yang berbunyi, ”Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (al-Hajj: 38)
Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.
Rasulullah saw. bersabda, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, ”Ucapan yang baik adalah sedekah.”
Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.
Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang.
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah
Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw, yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya, kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah malah berkata, ”Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku”.
d. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, ”Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab.

IMAN

بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ

عَنْ أَبِْى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارَزَ يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: مَالإِيْمَاُن؟ قَالَ: الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَ مَلآئِكَتِهِ وَ بِلِقَائِهِ وَ بِرُسُلِهِ وَ تُؤْمِنَ بِالبَعْثِ، قَالَ: مَالإِسْلاَمُ؟ الإِسْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلاَتُشْرِكُ بِه ِوَ تُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَ تُؤَدِّى الزَكَاةَ المَفْرُوْضَةِ وَ تَصُوْمُ رَمَضَانَ. قَالَ مَالإِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهِ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ مَتىَ السَّاعَةُ؟ قَالَ: مَالمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمِ مِنَ السَّائِلِ. وَ سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا، إِذَا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَ إِذَا تَطَاوَلَ رُعَاُة الإِبِلِ إِلَيْهِمْ فِى البُنْيَانِ، فِى خَمْسٍ لاَيَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ. ثُمَّ تَلاَ النَّبْيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَاعَةِ – الآية – ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ: رُدُّوْهُ. فَلَمْ بَرَوْا شَيْئًا. فَقَالَ: هَذَا جِبْرِيْلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَاسَ دِيْنَهُمْ. رواه البخارى

Artinya :
Abu Hurairah berkata: pada suatu hari Nabi Saw berada di tengah-tengah para sahabat lalau ada seseorang datang pada beliau lantas bertanya: apakah Iman itu? Beliau menjawab: Iman adalah engkau percaya kepada Allah dan Malaikatnya; percaya denga adanya pertemuan dengan Nya dan dengan adanya Rasul-rasul Nya, dan kamu percaya dengan adanya hari kebangkita (setelah mati). Ia bertanya apakah islam itu? Beliau menjawab: Islam yaitu menyembah pada Allah dan tidak mempersekutukannya, menunaikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa pada bulan ramadhan. Ia bertanya: apakah ihsan itu? Beliau menjawab: kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihatnya, dan jika kamu tidak bias (seakan-akan) melihatnya maka yakinlah bahwa sesungguhnya Allah melihat kamu. Ia bertanya: kapan hari kiamat itu? Beliau menjawab: orang yang ditanya tentang hari kiamat itu tidak lebih tahu dari pada orang yang bertanya, akan tetapi aku akan memberitahukan kepadamu tentang tanda-tandanya. Yaitu apabila seorang budak perempuan melahirkan tuannya; apabila penggembala unta dan ternak berlomba-lomba dalam bangunan: dalam 5 hal tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah kemudian Nabi saw membaca ayat “Sesungguhnya hanya pada sisinya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat dan Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak satu orang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakan besok. Dan tiada seroang pun yang dapat mengetahui di bumi manaia akan mati. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” orang yang bertanya itu lantas pergi, lalu Beliau bersabda: kembalikanlah dia. Akan tetapi mereka tidak melihat apa-apa, maka Beliau bersabda: itu adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan manusia tentang agama mereka” ( HR. Bukhari ).


1.PENGERTIAN IMAN
Kenapa yang pertama itu diajukan Pengertian Iman Secara Umum ? sebab istilah iman ini merupakan istilah kunci (strategis) didalam study Al-Qur'an. Jika istilah iman ini tidak terpecahkan maka tidak akan memahami semua istilah didalam Al-Qur'an. Dan jika istilah iman itu diartikan salah maka tidak ada jaminan yang lainnya itu akan benar.
Kita akan membagi pembahasan ini sebagai berikut:
1. Arti Kata Iman.
2. Ruang Lingkup Iman
3. Nilai dan Harga Iman
4. Definisi Iman

1. Arti Kata Iman
Yang dimaksud Arti Kata adalah pemecahan bentuk kata menjadi bentuk kata yang lain atau hubungan satu bentuk kata dengan kata yang lain. Sehingga Arti Kata Iman adalah pemecahan bentuk kata Iman sebagai kata dasar menjadi berbagai bentuk kata yang lain. Sehingga kita akan menemukan di dalam Al-Qur'an kata-kata : aamana , yu minu , ii maanan, yang merupakan hasil pemecahan dari bentuk kata Iman. Terjemahan umum dari kata-kata tersebut adalah:
Aamana = telah / sudah ber-iman.
Yu Minu = sedang / akan / lagi ber-iman.
Iimanan = Iman
Mu Minu = yang ber-iman.
Didalam memberikan definisi tentang perkataan Iman ini menurut yang ada sama dengan Percaya atau menurut Arab sama dengan : 'aqdun bil qolbi faqath .Sedangkan Iman berdasarkan Al-Qur'an, seperti dijelaskan oleh hadits:

Al iimaanu 'aqdun bil qolbi wa ikraarun bil lisani wa 'amalu bilarkan.
Artinya :
Iman adalah tanggapan hati (proses menanggapi) kemudian

dinyatakan dalam lisan (proses pernyataan diri/sikap) dan menjelma kedalam seluruh laku perbuatan (proses pembuktian dalam hidup). Atau dengan kata lain Iman adalah tambatan hati yang menggema ke dalam seluruh ucapan dan laku perbuatan.
Dengan arti perkataan Iman berdasarkan hadits tersebut di atas sebenarnya sudah sekaligus memberikan Ruang Lingkup Iman.

2. Ruang Lingkup Iman
Yang dimaksud Ruang Lingkup adalah batasan-batasan yang disentuh oleh arti perkataan. Seperti contoh sebidang kebun, ruang lingkup kebun berarti batasan-batasan yang disentuh oleh kebun itu sendiri, sebelah barat-timur-utara-selatan-nya dengan apa.
Berdasarkan hadits tersebut maka Ruang Lingkup Iman meliputi:'aqdun bil qlbi = tanggapan hati, ikraarun bil lisani = pernyataan lisan,'amalun bil arkan = pembuktian dalam perbuatan. Dengan demikian maka ruang lingkup iman meliputi tiga aspek aktivitas hidup manusia, yaitu aspek penanggapan, aspek pernyataan dan aspek pembuktian. Dari aspek penanggapan dan pernyataan akan melahirkan atau membentuk satu Pandangan Hidup dan dari ketiga aspek akan membentuk Sikap Hidup. Jadi berdasar pada Hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Iman sama dengan Pandangan dan Sikap dalam perjalanan hidup atau Pandangan dan Sikap Hidup.
Perkataan Iman tidak akan menjadi sempurna kecuali jika kepadanya ditambahkan atau dihubungkan dengan perkataan yang lain. Dengan kata lain perkataan Iman belum bernilai kecuali bila digandeng dengan sesuatu yang lain. Jadi kita tidak tahu apa yang ditanggapi kemudian apa yang diikrarkan dan apa yang akan dibuktikan dalam amal perbuatan.

3. Nilai dan Harga Iman
Nilai adalah kemampuan sesuatu membikin sedemikian rupa, sedangkan Harga adalah sejumlah pengorbanan untuk mendapatkan nilai. Contoh beras. Satu liter beras mempunyai kemampuan (bernilai) untuk mengenyangkan tiga orang dalam satu waktu tertentu. Kemampuan (nilai) beras tidak dipengaruhi oleh mau atau tidak mau-nya manusia. Untuk mendapatkan satu liter beras kita harus mengeluarkan sejumlah pengorbanan misalnya sejumlah uang sesuai dengan harga beras tersebut. Pengorbanan disini bukan pada bentuk uangnya tapi pada kerja kita untuk mendapatkan uang tersebut. Jadi Nilai ada pada benda (dalam hal ini beras) dan harga ada pada manusia (bentuk pengorbanannya).
Nilai Iman adalah kemampuan isi Iman menghantarkan manusia membentuk satu tatanan budaya kehidupan yang tangguh. Harga Iman adalah sejumlah pengorbanan yang kita lakukan untuk mendapatkan Nilai Iman.
Seperti telah disinggung di atas bahwa perkataan Iman belum bernilai sebelum digandeng dengan perkataan yang lain. Iman akan bernilai setelah digandeng dengan satu ajaran, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 4 :
Artinya:
"(Yang disebut Muttaqin) yaitu yang hidup berpandangan dan bersikap dengan apa yang telah diturunkan menurut sunnah anda (Muhammad) yakni yang sama dengan apa yang telah diturunkan menurut sunnah Rasul-Rasul sebelum anda, dengan mana mereka meyakini tujuan terakhir (Hasanah di dunia dan hasanah di akhirat) dalam keadaan bagaimana pun".
Seperti berdasar hadits bahwa Iman adalah Pandangan dan Sikap Hidup, maka yu minuuna bima ungjila ilaika jangan lagi diartikan mereka yang percaya pada penurunan Al Qur'an , tetapi mereka yang berpandangan dan bersikap hidup dengan sesuatu yakni Al-Qur'an yang telah diturunkan menjadi menurut sunnah Rasul (Muhammad) atau Al Qur'an menurut sunnah Rasul . Jadi disini nilai Iman ditentukan oleh ajaran Allah yakni Al-Qur'an menurut sunnah Rasul dan Iman yang demikian disebut Iman yang bernilai Haq. Maka konsekwensinya: wa bil akhirati hum yu qinun akan mencapai satu kesudahan terakhir hasanah fid dunya wa hasanah fil akhirat.
Sesungguhnya nilai Iman itu tidak hanya ditentukan oleh Al-Qur'an menurut sunnah Rasul saja, tetapi bisa juga oleh ajaran lain seperti diberitakan dalam surat An-Kabut ayat 52.
Artinya:
"Tegaskan (hai Muhamad/Orang Beriman) cukuplah Allah (dengan pembuktian Al Qur'an ms rasul) ini menjadi pemberi kesaksian diantara saya (yang hidup berpandangan dan bersikap dengan Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul ) dan kalian (yang hidup berpandangan dan bersikap dengan Dzulumat menurut Sunnah Syayatin). (Allah) yang meng-Ilmu-i segala kehidupan organis - biologis dan kehidupan sosial budaya. Dan mereka hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Bathil, yaitu mereka yang bersikap negatif terhadap ajaran Allah (Al-Qur'an menurut sunnah Rasul-Nya) niscaya mereka yang demikian adalah yang hidup rugi (perusak kehidupan dimana saja pun)".

4. Definisi Iman.
Yang dimaksud dengan definisi adalah keterangan singkat yang menggambarkan wujud makna secara menyeluruh dan bulat dari satu uraian.
Definisi Iman terbagi menjadi :
a. Definisi Iman Secara Umum, yaitu Pandangan dan Sikap Hidup baik dengan ajaran Allah dan atau selainnya.
b. Definisi Iman Secara Khusus :
1) Iman Haq, Pandangan dan Sikap Hidup dengan ajaran Al Qur'an menurut sunnah Rasul pelakunya disebut Mu'min.
2) Iman Bathil, Pandangan dan Sikap Hidup dengan ajaran Dzulumat menurut sunnah Syayatin , pelakunya disebut Kafir.

Begitulah definisi Iman berdasarkan Al-Qur'an ms Rasul, yang oleh Nabi Muhamad saw telah diajarkan pada permulaan abad ke 7 Masehi. Dan tanggapan abad ke 20 sekarang ini bahwa Iman ialah Percaya, menjadi bukti bawa `iman sama denga percaya' adalah satu produk sejarah oleh tangan-tangan kotor manusia.

Iman menurut Ahlus Sunaah wal Jamaah:
Bahwa iman menurut mereka adalah, "Membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan , diperbuat dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan."
Iman (Makna iman secara bahasa yaitu membenarkan, menampakan kekhusyu'an dan iqrar (pernyataan/pengakuan). Adapun makna iman secara syar'i yaitu segala bentuk ketaatan bathin maupun zhahir. Ketaatan bathin seperti amalan hati, yaitu pembenaran hati. Sedangkan yang zhahir yaitu perbuatan badan yang mencakup berbagai kewajiban dan amalan-amalan sunnah. Intinya iman itu adalah yang menghujam kokoh di dalam hati dan dibenarkan dengan perilaku dan sikap, sedangkan buahnya iman itu nampak nyata dalam pelaksanaan perintah Allah dan menjauhi dari segala larangan-Nya. Jika ilmu tersebut tanpa disertai dengan pengamalan, maka ilmu tersebut tidak ada manfaatnya. Seandainya hanya sekedar ilmu saja tanpa perbuatan dapat memberi manfaat kepada seseorang, pasti ilmu tersebut tidak dapat memberi manfaat pula kepada iblis -semoga Allah melaknatnya. Sungguh iblis itu mengetahui bahwa Allah itu Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya. Bahkan tempat kembalinya Iblis itu tidak diragukan lagi, pasti kepada-Nya. Akan tetapi tatkala ada perintah dari Allah Ta'ala kepadanya: "Sujudlah kamu kepada Adam!" maka ia enggan dan sombong bahkan ia termasuk golongan orang-orang kafir. Ternyata ilmu Iblis tentang ke-Esa-an Allah tidak dapat memberkan syafa'at kepadanya. Yang demikian itu karena ilmu semata tidak disertai dengan perbuatan, tidak ada nilainya disisi Allah Rabb semesta alam. Demikianlah pemahaman Salafush Shalih. Dalam al-Qur-an tidak disebutkan iman saja tanpa disertai dengan perbuatan, namun digabungkan antara iman dan amal shalih di banyak ayat) itu mencakup ucapan dan perbuatan:
• Ucapan hati dan lisan
• Perbuatan hati, lisan dan badan.
Ucapan hati, yaitu: Kepercayaan, pembenaran, pengakuan dan keyakinannya. Sedang ucapan lisan, yaitu: Pengikraran perbuatan, artinya mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan konsekwensinya.
Adapun perbuatan hati, adalah niat, taslim(penyerahan), ikhlas, tunduk, cinta dan kehendaknya untuk berbuat amal shalih. Sedangkan perbuatan lisan dan badan adalah mengerjakan perintah dan meninggalkan segala larangan.
"Tidak ada iman kecuali dengan perbuatan; tiada ada ucapan dan perbuatan kecuali dengan niat; dan tidak ada ucapan, perbuatan maupun niat kecuali dengan tuntutan yang sesuai dengan sunnah." (Ungkapan ini dikatakan oleh Imam al-Auza'i, Sufyan ats-Tsauri, al-Humaidi dan selainnya. Dan ucapan ini terkenal dari mereka. Seperti yang diriwayatkan al-Lalika-i dan Ibnu Baththa. (Lihat Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh al-Lalika-i no. 1586).

Allah Ta'ala telah menyebutkan sifat orang-orang mukmin sejati didalam al-Qur'an untuk orang-orang yang beriman dan beramal shalih dengan apa yang mereka imani, berupa prinsip-prinsip agama maupun cabangnya; baik yang zhahir maupun bathin. Dan pengaruh iman tersebut nampak tercermin dalam ‘aqidah, ucapan dan perbuatan mereka, yang zhahir maupun yang bathin. Allah Ta'ala berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlan iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian disisi Rabb-nya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia." (Al-Anfaal: 24).
Allah Ta'ala selalu menggandengkan antara iman dan amal perbuatan dalam banyak ayat al-Qur-anul Karim, seperti dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat tinggal." (Al-Kahfi: 107).

FILSAFAT HUKUM ISLAM

A. LATAR BELAKANG
Hukum islam mengacu pada pandangan hukum yang bersifat Teleologis. Artinya hukum islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya hukum islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jadi, hukum islam bukan bertujuan meraih kebahagian yang fana dan pendek di dunia semata, tetapi juga meraih kebahagian yang kekal di akhirat kelak. Inilah yang membedakan dengan hukum manusia yang menghendaki kedamaian di dunia saja.
Tujuan dari hukum islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim (maha pengasih dan maha penyayang) Allah kepada semua makhluk-Nya. Rahmatan lil la-lamin adalah inti syari’ah atau hukum islam. Dengan adanya syari’ah tersebut dapat ditegakan perdamaiaan dimuka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang. keadilan sangat mulia dimata kholik, dan sifat adil merupakan jalan takwa setelah iman kepada Allah.
Untuk biasa menegakan itu semua, hukum islam harus siap menghadapi kejadian baru yang timbul karena perkembangan masyarakat dan perubahan suasana. Untuk itu pengkajian ilmu filsafat hukum islam mutlak diperlukan. Dengan tegak dan berhasilnya filsafat hukum islam, dapat dibuktikan bahwa hukum islam mampu memberikan jawaban terhadap tangtangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam.
Para ahli Ushul Fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam, membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaiti Falsafah Tasyri dan Falsyafah Syariah.
Falsafah tasyri: Fasafah yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertigas membicarakan hakikat dan tujuan hukum islam.
Filsafat tasyri terbagi kepada :
1. Da’aim al- Ahkam ( Dasar-Dasar Hukum Islam )
2. Mabadi al-Ahkam ( Prinsip-Prinsip Hukum Islam )

3. Ushul al-Ahkam ( Pokok-Pokok Hukum Islam ) atau mashadir al-ahkam ( Sumber-Sumber Hukum Islam )
4. Maqasid al-Ahkam ( Tujuan Tujuan Hukum Islam )
5. Qowa’id al-Ahkam ( Kaidah-Kaidah Hukum Islam )
Falsafat syari’ah: Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi hukum Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian Falsafat Syari’ah adalah:
1. Asrar al-Ahkam ( Rahasia-Rahasia Hukum Islam )
2. Khasha al- Ahkam ( Ciri-Ciri Khas Hukum Islam )
3. Mahasin al-Ahkam atau Majaya al-Ahkam ( Keutamaan-Keutamaan Hukum Islam )
4. Thawabi al-Ahkam ( Karakteristik Hukum Islam )

B. PERTUMBUHAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

Sumber utama hukum islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Terhadap segala permasalahan yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan berjihad dengan mempergunakan akalnya guna menemukan ketentuan hukum. Dalil yang menjadi landasan berjihad adalah hadist Nabi Saw. Ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal sebagai berikut:
عَنْ انََسٍ مِنْ اَهْلِ حِمْصِ مِنْ أَ صْحَابِ مُعَاذَ بْنِ جَبَلٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ لَمَّا اَرَادَ اَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا اِلَى اْليَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ : اَقْضِي بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ : فَاِلَم ْتجَِدْ فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ : فَاِلَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدْ رَأْيِيْ وَلاَ الُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلِ اللِه صَدْرَهُ وَ قَالَ : اْلحَمْدِللهِ اْلذِي وَفْقَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلِ اللهِ.
Artinya :
” Diriwayatkan dari sekelompok penduduk Homs, shahabat Mu’az Ibn Jabal, bahwa Rasulullah Saw. ketika bermaksud untuk mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, ” apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya? ”Mu’adz menjawab, ”saya akan memutuskannya berdasarkan al-quran.” Nabi menjawab lagi, jika kasus tidak anda temukan dalam al-quran” muadaz menjawab,” saya akan memutuskannya berdasarkan sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya, ”jika kasus tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab ,” aku akan berijtihad seksama.” Kemudian Rasulullh menepuk-nepuk dada Mu’adz dengan tangannya, seraya berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulllah kepda jalan yang diridhai-Nya. ” ( HR.Abu Dawud ).
Jadi, berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu direstui oleh Rasulullah. Bahkan lebih tandas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran atau berpikir falsafi itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan. Allah berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (179)
Artinya :
” Dan dalam qishsah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa. ” ( QS. Al- Baqarah : 179 )
Ayat diatas menunjukan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk menangkap ma’na yang terkandung dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk al-Quran termasuk yang dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syri’ah atau hukum islam melahirkan filsafat hukum islam.
Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad diatas merupakan awal lahirnya filsafat hukum islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu. Pemikiran falsafi atau ijtihad yang salah segera dibetulkan dengan datangnya wahyu. Akan tetapi, ketika Rasulullah wafat dan wahyu pun telah usai, maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan, baik perkara yang ada nashnya maupun tidak ada nashnya.
Permasalahan yang timbul setelah Rasulullah wafat ialah mengenai siapa yang memegang tapuk kepemimpinan bagi umat islam. Terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya itu memerlukan pemikiran mendalam tentang kreteria apa yang diambil untuk menentukan pengganti Muhammad. Apakah kreterianya berupa jasa, yaitu jasa kaum Anshor yang menerima Muhammad beserta rombongannya dan menyelamatkan agama dari tekanan kaum kafir di mekkah, ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga dan harta kekeyaan demi menyelamatkan agama Islam. Pemikiran yang mendalam tentang kreteria pemimpin tersebut merupakan pemikiran falsafi.
Sedangkan pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula pada khulafaurrasyidin, terutama Umar Ibn Khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf dan lain-lain yang dilakukan umar berdasarkan kesesuaian zaman dan demi menegakan keadilan yang menjadi asas hukum Islam, merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan akal manusia.
Hukum diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kesejahtraan masyarakat, sementara masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu pengertian dan pelaksanaan hukum harus sesuai dengan keadaan yang ada. Artinya, asas dan prinsip hukum tidaklah berubah, tetapi cara penerapannya harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, perubahan suasana, dan perubahan keperluan hidup. Singkatnya penerapan hukum harus dapat menegakan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum Islam.

C. PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKU ISLAM

Kegiatan penelitian terhadap penelutian hukum (Maqasid al-Sya’riah) telah dilakukan oleh para ahli Ushul fiqh terdahulu. al-Juwaini, dapat dikatakan ahli ushul fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid sya’riah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam islam, sebelum ia dapat memahami bener tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya . Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqasid as-Sya’riah itu dalam kaitannya dengan pembahasan illat pada masalah qias. Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan illat, ashl dalam dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: kelompok Daruriyyat, al-Hajat al-Amanat, Makramat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya al-juwaini mengelompokkan ashl atau tujuan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu daruriyyat dan makramat. Yang terakhir, dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat.
Kerangka berpikir al-juwaini di atas di kembangkan oleh muridnya al-ghazali. Dalam kitabnya Syifa al-Ghali, al-Ghazali menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-Munasabat al-Mashlahiyyat dalam qiyas, sementara dalam kitabnya yang lain ia memebicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Mashlahat, baginya adalah memelihara maksud al-Syari, pembuat hukum. Kemudian ia memerinci Maslhahat itu menjadi lima, yaitu: Memelihara agama, jiwa, akal keturunan dan harta. Kelima aspek mashlahat ini menurut al-Ghazali, berada pada peringatan yang berbeda, bila ditinjau dari segi tujuannya, yaitu peringkat daruriyya, hajiat dan tahsiniyyat. Dari sini teori makhasid al-Syariah susah kelihatan bentuknya. Ahli fiqh yang berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama Maqasid al- Syariah, adalah Izz al-Din Ibn Abd al-Salim dari kalangan mazhab Syafii. Dalam kitabnya Qowaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat yang diejawantahkan dalam bentuk Daru al-Mafasid wa jalwu al-Manafi (menghindari mafsadat dan menarikmanfaat ). Baginya Mashlahat dunyawiyyat tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu: daruriyyat, hijayyat, dan tatimmat atau takmillat. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemaslahat manusia, baik di dunia maupun diakhirat. dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan inti mashlahat yang menjadi pembahasan dalam Maqashid al-Syariah. Dalam pandangan ahli fiqh lain dijelaskan tentang pembahasan mashlahat yang menjadi bagian sangat penting karena tujuan Allah mengsyariatkan hukumnya adalah untuk kemashlahatan manusia. Oleh karena itu taklif dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan-tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahat menjadi tiga peringkat, yaitu: Daruriyyat, Hajiyyat, Tahsiniyyat. Yang dimaksud dengan mashlahat baginya adalah memelihara lima aspek utama, yaitu: Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.

DAFTAR PUSTAKA ®

Al – Qur`an dan Terjemahannya, Depag RI.
Chotib, Ahmad, Falsafat Hukum Islam, Fakultas Syari`ah IAIN Jakarta, Surabaya : 1989.
Endang Saifuddin Anshari, M.A., Ilmu, Filsafat dan Agama cet. VII, Surabaya, Bina Ilmu : 1987.
Al – Ghazali, Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad, al-Mustashfa Min `ilmi Al-Ushul,t.t.: Nur al-Saqafat al-Islamiyyat, t.th.
__________, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhilwa Masalik al-Ta`lil, Baghdad, Matba`at al-Irsyad, 1971.
Harun Nasution, Prof. Dr. Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Harjono, Anwar, Drs. SH., Hukum Islam Keluasan Dan Keagungannya, Jakarta : Bulan Bintang.
Djamili, Fathurrahman, Dr. MA. Filsafat Hukum Islam, jakarta: LogosWacanaIlmu,1997S

Minggu, 28 Juni 2009

KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM MASYARAKAT

A.PENGANTAR

Komunikasi merupakan dasar interaksi antarmanusia. Kesepakatan atau kesepahaman dibangun melalui sesuatu yang berusaha bisa dipahami bersama sehingga interaksi berjalan dengan baik. Persoalan mendasar dari masalah ini terletak pada hambatan yang muncul dalam membangun kesepahaman dan usaha mencapai tujuan secara maksimal. Hal ini biasanya melahirkan suatu kegalauan tentang komunikasi yang tidak sesederhana yang dibayangkan, yang kemudian menuntun pada pemikiran tentang usaha untuk melakukan komunikasi secara efektif. Uraian di bawah ini akan menyajikan sejumlah pemahaman dan persoalan dalam proses komunikasi yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk membangun dan menjalankan suatu komunikasi yang efektif.

B.PEMBAHASAN

Memahami Komunikasi
Secara sederhana komunikasi dapat dipahami sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan dari komunikator (sumber) ke komunikan (penerima). Pada tataran ini, terlihat adanya tiga unsur atau elemen komunikasi yaitu, komunikator, pesan dan komunikan. Secara lebih luas, komunikasi bisa pula dipahami sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan dari komunikator ke komunikan, dengan atau tanpa media, serta melibatkan dua individu atau lebih yang saling berhubungan. Pada tingkat yang lebih kompleks ini, elemen-elemen komunikasi yang nampak adalah komunikator (tunggal/jamak), komunikan (tunggal/jamak), pesan dan media. Biasanya, ikutan dari elemen-elemen yang demikian adalah munculnya pertimbangan tentang efek (pengaruh) serta umpan balik (feedback).

Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif dipandang sebagai suatu hal yang penting dan kompleks (Mingay, 2005: 2; dan Soller, Lesgold, Linton dan Goodman, 1999: 1-8). Dianggap penting karena ragam dinamika kehidupan (bisnis, politik, misalnya) yang terjadi biasanya menghadirkan situasi kritis yang perlu penanganan secara tepat, munculnya kecenderungan untuk tergantung pada teknologi komunikasi, serta beragam kepentingan yang ikut muncul. Juga dipandang kompleks karena komunikasi efektif tidak serta merta berlaku untuk semua bentuk proses komunikasi yang terjalin. Dengan kata lain, rujukan komunikasi efektif hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu dan kurang bisa digeneralisasi.

Hasil penelitian Johnson, Sutton dan Harris (2001: 81) menunjukkan cara-cara agar komunikasi efektif dapat dicapai. Menurut mereka, komunikasi efektif dapat terjadi melalui atau dengan didukung oleh aktivitas role-playing, diskusi, aktivitas kelompok kecil dan materi-materi pengajaran yang relevan. Meskipun penelitian mereka terfokus pada komunikasi efektif untuk proses belajar-mengajar, hal yang dapat dimengerti di sini adalah bahwa suatu proses komunikasi membutuhkan aktivitas, cara dan sarana lain agar bisa berlangsung dan mencapai hasil yang efektif.

Sejumlah hasil penelitian di atas mengantar pada suatu pemahaman tentang komunikasi efektif. Pertama, terdapat kejelasan aktor komunikasi atau antarsiapa sesungguhnya komunikasi efektif itu hendak dicapai. Komunikasi efektif untuk guru ke murid berbeda dengan komunikasi efektif dari murid ke guru. Komunikasi efektif untuk keluarga berbeda dengan komunikasi efektif untuk pertemanan. Kedua, keefektifan komunikasi juga ditentukan oleh kejelasan tujuan komunikasi yang dijalankan. Efektifitas untuk penyampaian informasi berbeda dengan efektifitas tujuan pendidikan, persuasi, hiburan atau pengawasan lingkungan. Efektifitas komunikasi bisnis akan berbeda dengan efektifitas komunikasi untuk bimbingan dan konseling. Ketiga, komunikasi efektif ditentukan oleh kesediaan antaraktor serta dukungan elemen dan sub-elemen komunikasi untuk berbentuk dan bersikap efektif. Komunikator yang pro-efektif tidak akan banyak membantu bila komunikan tidak bersikap dan berperilaku efektif.



Lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan komunikasi efektif? Mengingat beragamnya unsur untuk tercapainya komunikasi efektif seperti sudah dijabarkan di depan, maka pemahaman tentang komunikasi efektif pun tidak bisa diberikan dengan satu pengertian belaka. Sebagai contoh, ada yang menyebutkan bahwa komunikasi efektif adalah proses komunikasi yang dilakukan dengan metode yang tepat. Secara luas memang bisa dipahami bahwa penggunaan metode yang tepat tentu didasari oleh banyak pertimbangan tentang efektifitas itu sendiri terlebih dahulu.

Pendapat lain menyebutkan bahwa komunikasi efektif akan tercapai bila proses yang terjadi dilakukan secara sadar dengan mengenali hambatan atau potensi hambatan dan memahami serta menyiapkan pemecahan masalahnya.
Sekarang timbul pertanyaan, apa kaitannya dengan masyarakat itu sendiri? Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Jadi dari pengertian di atas bisa kita hubungkan bahwa komunikasi yang baik akan menghasilkan sebuah masyarakat yang akan hidup harmonis. Masyarakat di sini bukan hanya di lingkungan sekitar kita namun pula masyarakat lebih luas ruang lingkupnya. Sekolah merupan masyarakat kecil yang di bina dalam hubungan akademika. Dunia usaha atau perusahaan di bina dalam bidang ekonomi dan mungkin masih banyak lagi. Namun yang perlu di pehatikan bahwa komuniksi dalam sebuah masyarakat akan membawa dampak yang sangat baik. Sistematika kehidupan bermasyarakat bisa terbentuk dari pola linkage (hubungan) yang harmonis dan dinamis antara para pelaku di masyarakat tersebut.
C.PENUTUP

Sebagai penutup dari makalah yang singkat ini, ada beberapa kesimpulan yang perlu saya kemukakan antara lain.
1.Komunikasi merupakan suatu bagian yang tidak bisa di pisahkan dalam kehidupan setiap manusia.
2.Komunikasi yang efektif akan terbentuk dari pola kehidupan yang paham terhadap komunikasi dan mau memanfaatkannya sesuai dengan peranan yang ada.
3.tatanan sosial kemasyarakatan yang ada menggambarkan akan pentingnya sebuah komunikasi yang efektif yang mengarah pada prinsip kebersamaan.
4.Tidak mustahil kalau ternyata terjadinya kerusuhan, peperangan dan perkelahian di sebabkan oleh ketidakefektifannya dalam berkomunikasi, yang di hadapi oleh masyarakat sekarang ini.
5.mulailah belajar untuk mengefektifkan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari kita
Wallahua,lam bissawab.

D.REFERENSI

1.Mingay, Simon. 2005. “Effective Communication between IT Leaders and Stakeholders must be Structured and Contextual”.
2.Green, Stephen D. 2000. “Keys to Effective Father-Child Communication”.
3.Neuman. Cheryl McKenna. 2002. “Establishing Effective Communication with Large Science Classes”
4.Soller, Amy; Alan Lesgold, Frank Lintin dan Brad Goodman. 1999. “What Makes Peer Interaction Effective? Modelling Effective Communication in an Intelligent CSCL”

KONSEP PEMIKIRAN DA’WAH DOKTOR HAJI MOHAMMAD NATSIR

A. Pendahuluan
Kalau ada seorang muslim yang paling berpengaruh di Indonesia salah satunya adalah Mohammad Natsir, tokoh reformis, religius dan nasionalis, tokoh yang sangat berpengaruh dalam upaya pergulatan kemerdekaan dan pembentukan Negara Republik Indonesia bersama Sukarno, Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.
Mohammad Natsir adalah dai pejuang Islam yang mencoba mewarnai negara ini dengan nilai-nilai Islam yang aplikatif, bukan Islam politik tetapi mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang universal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berbanding lurus dengan salah satu pemikiran beliau yang mencerminkan personifikasinya yang anti sekulerisme, menurut beliau tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan nyata, dengan menolak bentuk negara dengan ideologi sekulerisme dan westernisasi ala Mustafa Kamal Attaturk di Turki. Pendapat beliau tentang sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap hanya didalam batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan dan sebagainya. Walaupun mereka mengakui adanya Tuhan, tetapi dalam persoalan hidup sehari hari umpanya, seorang sekuleris tidak menganggap perlu hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun dalam arti doa dan ibadah.
Pemikiran Da’wah beliau menjadi penting untuk diulas dalam konteks kekinian karena menyangkut beberapa aspek kehidupan yang penting bagi umat yang saat ini kehilangan ruh keislaman yaitu ”Islamisasi hayah” menjadikan Islam sebagai jalan hidup dalam semua aspek kehidupan riil tanpa terkecuali dan menjadikan Islam sebagai solusi sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta menjadikan politik bagian dari perjuangan Islam di Indonesia. Beliau tidak mentabukan Islam terjun didunia politik yang justru merupakan titik lemah umat Islam di Indonesia, mayoritas tetapi terpinggirkan dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemikiran Mohammad Natsir menjadi penting dan relevan untuk dikaji ditengah kenyataan kondisi umat yang membutuhkan stimulan dan daya lecut kebangkitan Islam, mencari jalan keluar dari cengkraman hegemoni barat.
B. Sejarah Hidup
Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993 adalah pemimpin Masyumi dan salah seorang tokoh politik dan tokoh Islam di Indonesia. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau. Natsir pada mulanya sekolah di Sekolah Dasar pemerintah di Maninjau, kemudian HIS pemerintah di Solok, HIS Adabiyah di Padang, HIS Solok dan kembali HIS pemerintah di Padang. Natsir kemudian meneruskan studinya di Mulo Padang, seterusnya AMS A 2 (SMA jurusan Sastra Barat) di Bandung. Walaupun akan mendapatkan beasiswa seperti di Mulo dan AMS untuk belajar di Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, dia tidak melanjutkan studinya dan lebih tertarik pada perjuangan Islam.
Pendidikan agama mulanya diperoleh dari orang tuanya, kemudian ia masuk Madrasah Diniyah di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al Qur’an pada malam hari di surau. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika dia berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam di Bandung. Kepribadian A Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam argumentasinya dan berani mengemukakan pendapat tampaknya cukup berpengaruh pada kepribadian Natsir kemudian. Natsir mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan Natsir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam.
Pengalaman organisasinya mulai ketika dia masuk Jong Islamieten Bond (JIB) di Padang. Di Bandung dia menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932, menjadi ketua Partai Islam Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun empat puluhan menjadi anggota Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), cikal bakal partai Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang kemudian dipimpinnya. Ia menjalin hubungan dengan tokoh politik seperti Wiwoho yang terkenal dengan mosinya “Indonesia Berparlemen” kepada pemerintah Belanda, dengan Sukarno, dan tokoh politik Islam lainnya yang kemudian menjadi tokoh Masyumi, seperti Kasman Singodimejo, Yusuf Wibisono dan Mohammad Roem.
Berbeda dengan tokoh pergerakan lainnya, sejak semula Natsir juga bergerak di bidang dakwah untuk membina kader. Pada mulanya ia aktif dalam pendidikan agama di Bandung, kemudian mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang mengasuh sekolah dari TK, HIS, Mulo dan Kweekschool yang dipimpinnya 1932-1942.Di samping itu ia rajin menulis artikel di majalah terkemuka, seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Dalam tulisannya dia membela dan mempertahankan Islam dari serangan kaum nasionalis yang kurang mengerti Islam seperti Ir. Sukarno dan Dr. Sutomo. Khusus dengan Sukarno, Natsir terlibat polemik hebat dan panjang antara tahun 1936-1940an tentang bentuk dan dasar negara Indonesia yang akan didirikan. Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi ala Turki di bawah Kemal Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. Tulisan-tulisannya yang mengeritik pandangan nasionalis sekuler Sukarno ini kemudian dibukukan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid buku Capita Selecta.
Kegiatan politik Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta 1948 Natsir ditujuk sebagai Menteri Penerangan. Sebagai menteri, tanpa rasa rendah diri dia menerima tamunya di kantor menteri dengan pakaian amat sederhana, ditambal, sebagaimana ditulis kemudian oleh Prof. George Kahin, seorang ahli sejarah Indonesia berkebangsaan Amerika yang waktu itu mengunjunginya di Yogya.
Ketika terbentuknya negara RIS sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, Natsir memelopori kembali ke negara kesatuan RI dengan mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS pada tanggal 3 April 1950. Bersama dengan Hatta yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri RIS, ide ini tercapai dengan dibentuknya negara kesatuan RI pada 17 Agustus 1950. Mungkin atas jasanya itu, Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Sukarno, atau juga karena pengaruhnya yang besar, sebagaimana kemudian terlihat dari hasil Pemilu 1955.
Karena tidak mungkin lagi terjun ke politik, Natsir mengalihkan kegiatannya, berdakwah melalui perbuatan nyata dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Pada tahun 1967 dia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang aktif dalam gerakan amal. Lembaga ini dengan Natsir sebagai tokoh sentral, aktif berdakwah bukan saja kepada masyarakat dan para mahasiswa di Jakarta dan kota lainnya, tapi juga di daerah terasing, membantu pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan mesjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah. Bahkan di antara mahasiswa ini kemudian menjadi tokoh nasional yang religius seperti Amien Rais Yusril Ihza Mahendra, dan Nurchalis Majid, di antara beberapa tokoh penggerak orde reformasi yang mengganti orde Suharto.
Kegiatan dakwahnya ini telah menyebabkan hubungannya dengan masyarakat luas tetap terpelihara, hidup terus sebagai pemimpin informal. Kegiatan ini juga membawa Natsir menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional dengan menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967)dan anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di samping bantuan para simpatisannya di dalam negeri, badan-badan dunia ini kemudian banyak membantu gerakan amal DDII, termasuk pembangunan Rumah Sakit Islam di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London.
Namun kebebasannya hilang kembali karena ia ikut terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980. Ia dicekal dalam semua kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri. Sejak itu Natsir aktif mengendalikan kegiatan dakwah di kantor Dewan Dakwah Salemba Jakarta yang sekalian berfungsi sebagai masjid dan pusat kegiatan diskusi, serta terus menerus menerima tamu mengenai kegiatan Islam.
Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam. Dan yang terakhir beliau secara resmi di angkat sebagi pahlawan pada November 2008.
Pada tanggal 7 Februari 1993 Natsir meninggal dunia di Jakarta dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tapi juga dari luar negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang mengirim surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia.
Walaupun telah tiada, buah karya dan pemikirannya dapat dibaca dari puluhan tulisannya yang sudah beredar, mulai dari bidang politik, agama dan sosial, di samping lembaga-lembaga amal yang didirikannya. Perkawinannya dengan Nur Nahar, aktifis JIB pada tahun 1934 di Bandung telah memberinya enam orang anak. Beliau termaksuk seorang penulis yang bayak mengasilkan karyanya, salah satu buku da’wahnya adalah “Fiqh Adda’wah”
C. Pemikiran Mohammad Natsir
Pemikiran politik Natsir adalah pemikiran politik Islam, pandangan Natsir tentang Islam adalah agama pembebasan yang menegakan kemerdekaan jiwa seseorang dari kemusrikan dan takhayul dan rasa takut kepada selain Allah. Pembebasan manusia dari penindasan manusia dan golongan, pembebasan dari kemiskinan dan kefakiran, pembebasan manusia dari taassub (chauvinisme), yang menjadi sumber angkara murka antara bangsa dan bangsa, yang mencoba menegakan masyarakat dari musyawarah dengan menghargai nilai-nilai kemanusiaan, atas dasar hidup memberi hidup, bukan atas dasar siapa yang kuat, siapa diatas, siapa yang lemah, siapa mati (Survival of the fiftest).
Secara garis besar pemikiran Da’wah Islam Mohammad Natsir yang dikaji dalam makalah ini meliputi tiga hal yaitu Mohammad Natsir dalam hubungannya dengan Sekulerisme, Misi Kristenisasi, Perang pemikiran dan orientalisme, dan Islamisasi Hayah.
1. Muhammad Natsir dan Sekularisme
Pendapat beliau tentang sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap hanya didalam batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan dan sebagainya. Walaupun mereka mengakui adanya Tuhan, tetapi dalam persoalan hidup sehari hari umpanya, seorang sekuleris tidak menganggap perlu hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun dalam arti doa dan ibadah.
Kenyataan saat ini sekulerisme telah mengglobal dan mencengram dunia Islam, puncak keberhasilan sekulerisme barat adalah runtuhnya khilafah di Turki tahun1924, Kemal Attaturk meruntuhkan khilafah Islam Turki dan mengubah menjadi Turki yang Sekuler. Namun saat ini barat harus kembali berhadapan dengan proyek kebangkitan Islam yang mulai berhembus diseluruh penjuru dunia.
2. Muhammad Natsir dan Misi Kristenisasi
Selain dikenal sebagai sosok yang alim beliau juga dikenal sebagai sosok yang berani melawan misionaris dan zending di Indonesia, ini dibuktikan oleh sebuah artikel yang ditulis Natsir pada tahun 1938, yang berjudul ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”. (Ejaan telah disesuaikan dengan EYD).
Natsir membuka tulisannya dengan untaian kalimat berikut:
”Sebaik-baik menentang musuh ialah dengan senjatanya sendiri! Qaedah ini dipegang benar oleh zending dalam pekerjaannya menasranikan orang Islam. Tidak ada satu agama yang amat menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka daripada agama Islam.”
Artikel Natsir ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938. Natsir sangat peduli dengan Konferensi tersebut, yang antara lain menyorot secara tajam kondisi umat Islam Indonesia. Dr. Bakker, seorang pembicara dalam Konferensi tersebut mengungkapkan kondisi umat Islam sebagaimana yang digambarkan dalam buku Prof. Dr. H. Kraemer, The Christian Message in a non-Christian World. Kata Dr. Bakker, ”Orang Islam yang berada di bawah pemerintahan asing lebih konservatif memegang agama mereka dari negeri-negeri yang sudah merdeka.”
Menanggapi rencana Misi Kristen di Indonesia tersebut, Natsir mengimbau umat Islam:”Waktu sekaranglah kita harus memperlihatkan kegiatan dan kecakapan menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi. Jawablah Wereldcongres dari Zending itu dengan congres Al-Islam yang sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk memperteguh benteng keislaman. Sebab tidak mustahil pula di negeri kita ini, suara azan bakal dikalahkan oleh lonceng gereja. Barang bathil yang tersusun rapi, akan mengalahkan barang haq yang centang-perenang.!” (Dimuat di Majalah PANDJI ISLAM, No. 33-34, 1938; dikutip dari buku M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (kumpulan karangan yang dihimpun dan disusun oleh Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: CV Bulan Sabit, 1969).
Demikianlah salah satu pesan Natsir yang mengingatkan kaitan erat antara gerak Penjajahan, Misi Kristen, dan Orientalisme. Karena pentingnya peran pendidikan ala Barat dalam menjauhkan generasi muda Islam dari agamanya, bisa dimengerti jika Natsir sangat serius dalam upaya pendirian sejumlah universitas Islam di Indonesia. Kita berdoa, mudah-mudahan civitas academica di kampus-kampus Islam yang dipelopori pendiriannya oleh Natsir memahami misi besar ini, dan tidak terjebak ke dalam paham-paham sekularisme atau liberalisme Barat yang secara gigih diperangi oleh Natsir sepanjang hidupnya.
3. Muhammad Natsir dan Perang pemikiran & Orientalisme
Perang pemikiran atau ghazwul fikr saat ini merebak seiring dengan upaya sekulerisme dan memperkecil pengaruh Islam pada pemeluknya, Natsir pernah menyebutkan dalam tulisannya, bahawa Prof. Snouck Hurgronje pernah menulis dalam bukunya, Nederland en de Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam). Pengaruh itu begitu terasa saat ini perang pemikiran menggunakan berbagai macam cara, target antara perang pemikiran yang dilancarkan barat ke dunia Islam adalah melepaskan Al-Qur`an (syariat) dari umat Islam, Identitas Islam lepas dari ruh Islam sehingga dapat dengan mudah semua sumber daya bisa direbut barat tanpa susah payah dengan jalan berperang, inilah penjajahan model baru.
4. Muhammad Natsir dan Islamisasi Hayah
Pemikiran M Natsir yang juga menarik untuk ditelaah adalah upaya Islamisasi Hayah, upaya untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan negara. Karena inilah yang dilakukan Rasulullah Saw pada tahapan salah satu tahapan dakwahnya; menegakkan negara. Sebagai sebuah bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar manusia dan sistem. Manusialah yang akan mengisi supra struktur, sedang sistem adalah perangkat lunak, sesuatu dengan apa negara bekerja. Dan Islam adalah sistem itu, maka ia given. Tapi manusia adalah suatu yang dikelola, dibelajarkan, sedemikian rupa sampai sistem terbangun dalam dirinya sebelum kemudian mengoperasikan negara dengan sistem tersebut. Dan untuk itulah Rasulullah Saw memilih manusia-manusia terbaik yang akan mengoperasikan negara itu.
D. Pandangan Dakwah Dr. M.Natsir
Suatu hari Prof. Didin Hafidhuddin berbincang dengan Allahu-yarham Bapak Mohammad Natsir dan Bapak KH Sholeh Iskandar di Pondok Pesantren Darul Fallah, Bogor. Pesantren Darul Fallah adalah salah satu gagasan Pak Natsir dalam rangka mencetak dai yang selain menguasai pengetahuan keislaman juga memiliki skill pertanian yang terkait dengan pembangunan pedesaan.
Pak Natsir menyampaikan kepada Prof. Didin dan Pak Sholeh Iskandar bahwa dalam upaya mempercepat dan mengembangkan dakwah di Indonesia, ada tiga institusi atau tiga pilar utama yang harus diperkuat, yaitu masjid, pondok pesantren, dan kampus.
Dalam pandangan dan pemikiran Pak Natsir, dari masjid diharapkan lahir jamaah yang solid dan kuat, bukan hanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi juga muamalah. Dalam buku Fiqhud Da’wah beliau mengutarakan masjid adalah lembaga risalah, tempat mencetak umat yang beriman, beribadah menghubungkan jiwanya dengan Khaliq, umat yang beramal saleh dalam kehidupan masyarakat, umat yang berwatak dan berakhlak teguh.
Pesantren diharapkan menjadi tempat lahirnya ulama, kiai, dan ustadz yang memiliki komitmen dan semangat kuat mendakwahkan Islam ke seluruh Tanah Air. Pak Natsir sangat memahami dan menghargai peranan pesantren dalam perspektif sejarah umat Islam. Istilah yang beliau sampaikan, pesantren merupakan kubu pertahanan mental dari abad ke abad.
Kampus diharapkan melahirkan cendekiawan dan pemimpin di berbagai lapangan kehidupan. Betapa besar kekuatan yang dapat dibangun bila sudah bertemu pesantren dengan universitas. Kemudian, sama-sama berjumpa di masjid. Perpaduan ketiga pilar tadi bukan semata bersifat fisik, tapi juga perpaduan persepsi, pemikiran, dan amaliyah. Dengan kata lain, kaum cendekiawan dan civitas akademika di kampus harus memahami pesantren dan masjid. Kaum santri juga dituntut bisa memahami kampus dan masjid.
Tergambar dalam perspektif di atas kapasitas Pak Natsir seorang mujahid dan mujaddid dakwah yang berpandangan visioner. Dalam sebuah wawancara dengan Jurnal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pak Natsir mengatakan, apabila tiga unsur itu dipertemukan, niscaya akan menjadi modal utama pembinaan umat maupun pembangunan bangsa dan negara.
Pak Natsir selalu mengingatkan para sarjana dan calon intelektual Muslim yang sedang menempuh pendidikan agar memiliki wawasan keumatan. Siapa pun, apakah guru, dokter, insinyur, ulama, atau apa saja, jika sudah menghayati persoalan umat di lapangan, diharapkan akan bergerak maju memperbaiki keadaan.
Spesialisasi yang berlebihan, dalam arti tidak lagi ambil pusing dengan bidang lain, apalagi kalau dihubungkan dengan agama, justru mempersempit pandangan dan persepsi. Hal ini bukannya memecahkan persoalan, tetapi malah menimbulkan persoalan baru.
Pak Natsir pernah menyatakan tidak ada dikotomi antara agama dan urusan dunia. Karena itu, jangan kita membiarkan orang memisahkan antara ulama dari intelektual Muslim. Keduanya mempunyai intellect, daya pikir dan daya cipta, yang dalam istilah Alquran disebut ulul albab.



E. Dr. Mohammad Natsir Adalah Arsitek Da’wah
Sepanjang hayatnya selama 84 tahun, banyak yang telah beliau berikan. Dia menjadikan dakwah sebagai perjuangan dan tidak pernah surut dari medan dakwah sampai ajal. Dakwah dilakukannya dengan lisan, tulisan, maupun dengan amal, dan teladan yang baik. Beliau dapat disebut maestro dakwah dan arsitek dakwah yang tidak mudah mencari penggantinya.
Dakwah, menurut Natsir, usaha sadar mengubah seseorang, sekelompok orang, atau suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan rasul-Nya. Dakwah mempunyai dua sisi yang komplementer, yaitu membina umat dan memelihara atau membentengi umat dari bahaya yang batil.
Menurut beliau, dai atau juru dakwah yang unggul tidak menciptakan banyak musuh, melainkan mencari teman sebanyak mungkin. Di dalam buku Fiqhud Da’wah diutarakan bahwa kaifiat (metode) pelaksanaan dakwah tidak bisa dipisahkan dari isi dakwah yang hendak disampaikan itu.
Dalam buku itu juga dijelaskan akhlak adalah tiang dakwah. Dakwah dan akhlakul karimah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Banyak hal sulit yang tak dapat diatasi dengan semata-mata ilmu pengetahuan, tapi dapat diatasi dengan akhlak. Sebaliknya, banyak kesulitan yang bisa timbul bila dakwah tidak didukung oleh akhlak. Di sisi lain, tegak atau robohnya dakwah tergantung kepada tegak robohnya jiwa pribadi pembawa dakwah.
Pak Natsir sering mengatakan bahwa sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, setiap Muslim sesuai kesanggupan masing-masing memikul kewajiban dakwah. Tiap-tiap kita adalah dai pengemban tugas dakwah. Tukang becak yang Muslim mempunyai tugas dakwah. Ia yang menjemput dan mengantar pulang ustadz dalam suatu pelaksanaan dakwah. Saudara marbot (penjaga) masjid mungkin buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Tetapi, tugas membersihkan masjid, mengurus air masjid, menjaga keamanan sandal, adalah termasuk pelaksanaan dakwah. Marbotlah yang mengurus semua itu. Dengan tugas itu, marbot menjadi dai.’’ ”Yang jadi pejabat atau pegawai, dia adalah dai. Karena dengan kedudukannya, pelaksanaan dakwah dapat berjalan lancar. Yang kaya, yang mendapat kekayaan dari Allah, mungkin tidak bisa naik mimbar, tetapi dengan infaknya dia menjadi dai.
Pada saat menerima Penghargaan Internasional Malik Faisal tahun 1980, Pak Natsir mengucapkan pidato, Sekarang kita menghadapi tantangan, setelah negara-negara kita merdeka. Sebab, tujuan kita tak sekadar merdeka politis semata-mata. Tetapi adalah benar-benar kembali kepada Allah dan kembali kepada Islam, baik bentuk, isi, tingkah laku maupun komitmen. Kita tidak akan berkecil hati menghadapi tantangan-tantangan itu. Sebab, yang menimbulkan tantangan-tantangan tersebut terperosok dalam kegelapan. Dan ini hendaknya menjadi pendorong bagi kita untuk menyampaikan kepada mereka ’nur’ yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Nur yang menerangi kegelapan. Dan di bawah nur ini urusan dunia dan akhirat menjadi baik. Itulah nur Islam.
Menurut Pak Natsir, kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni serta tidak bercampur-aduk dengan bid’ah, khurafat, dan takhayul. Mengenai pengertian modernisasi dalam Islam, Pak Natsir mengatakan bahwa modernisasi justru kembali kepada yang pokok atau keaslian, kembali kepada esensialitas Islam. Tajdid tidak lain mengintroduksi kembali apa yang dulu pernah ada, tetapi ditinggalkan.
Mengenai persatuan umat, Mohammad Natsir mengatakan bahwa umat Islam sekalipun menghadapi bermacam cobaan dan terkadang sampai bercerai-berai, tetap ada seruan Kitabullah dan Sunah Rasulullah, yang memanggil mereka kembali ke jalan yang benar. Hal ini disampaikan beliau yang saat itu terbaring di rumah sakit dalam pidato taushiyah yang direkam melalui video untuk acara Silaturrahim dan Tasyakur 24 Tahun Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tanggal 26 Mei 1991.
Pak Natsir adalah pemimpin dan pejuang yang selalu memiliki optimisme terhadap masa depan Islam di Indonesia, betapapun beliau merasakan beragam tantangan silih berganti dihadapi kaum Muslimin dari segala penjuru yang tidak senang agama Allah ini tegak kokoh di muka bumi. Beliau berpesan kepada kader-kader dakwah dan umat Islam pada umumnya, Marilah kita melihat tiap-tiap persoalan yang kita hadapi dari masa ke masa, sekarang atau yang akan datang, sebagai ujian, sebagai ibtilaa’ yang silih berganti. Dan tidak usah kita menyembunyikan diri dari padanya, tetapi kita harus hadapi dengan iman, dengan warisan Rasulullah SAW, kitabullah wa sunnatu Nabiyyih.
F. Kesimpulan
Mohammad Natsir adalah ”Inspiring people” bagi pergerakan Islam di Indonesia, spirit Islam memadu sempurna dengan gerak langkahnya. Berbagai pemikirannya relevan bagi pergerakan-pergerakan Islam yang ingin membangkitkan kejayaan Islam sebagaimana telah di janjikan bahwa Islam akan kembali menjadi sebuah peradaban besar dunia, seperti halnya dulu selama lebih dari 10 abad eksis menjadi sebuah peradaban besar/adidaya dunia, yang sekarang baru kurang dari 1 abad kepemimpinan peradaban dunia dipegang oleh barat dalam hal ini Amerika dan Eropa. Peradaban pasti akan terus bergulir seperti roda peradaban dunia.
Untuk konsep pemikiran da’wah M. Natsir mencoba memberikan Dua poin yang perlu di cerna antara lain:
1. Natsir menilai kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni.
2. Masjid, pondok pesantren, dan kampus adalah tiga pilar yang tak terpisahkan.
Dua poin di atas bisa terjadi dan menjadi bukti apabila kita melaksanakannya. Oleh karena itu kita berharap semoga akan muncul natsir-natsir muda yang berjuang demi Islam tanpa pamrih kecuali balasan dari Allah SWT.
Wallahua’lam Bissowab.
Referensi
M. Natsir Konsep Da’wah dan Pemikiran
Tiga Pilar Da’wah Dalam Pandangan Dr. M. Natsir, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin dan Fuad Nasar

SEKULARISME

Saat ini sekularisme di Dunia Islam bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi. Dapat dikatakan bahwa sekularisme kini telah menjadi bagian dari tubuhnya atau bahkan menjadi tubuhnya itu sendiri. Ibarat sebuah virus yang menyerang tubuh manusia, dia sudah menyerang apa saja dari bagian tubuhnya itu. Bahkan yang lebih hebat, virus itu telah menghabisi seluruh tubuh inangnya dan menjelma menjadi wujud sosok baru; bak sebuah monster yang besar dan mengerikan sehingga sudah sulit sekali dikenali wujud aslinya.
Begitulah kondisi umat Islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangan sekularisme sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit kemana-mana. Hampir tidak ada sisi kehidupan umat ini yang terlepas dari cengkeramannya. Akibatnya, umat sudah tidak menyadarinya lagi.

Rantai Sekularisme
Inti dari paham sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (faşl ad-dîn ‘an al-hayâh). Menurut Nasiwan (2003), sekularisme di bidang politik ditandai dengan 3 hal, yaitu:
(1) Pemisahan pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur eklesiatik;
(2) Ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam bidang sosial dan ekonomi, yang semula ditangani oleh struktur keagamaan;
(3). Penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan keduniaan yang tidak transenden.
Tahun yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu telah mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan di Eropa. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katolik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya adalah bahwa negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya. Sementara itu, Tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja saja.
Awalnya sekularisme memang hanya berbicara hubungan antara agama dan negara. Namun dalam perkembangannya, semangat sekularisme tumbuh dan berbiak ke segala lini pemikiran kaum intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar sekaligus sumber inspirasi ke segenap kawasan pemikiran., yaitu:

1. Bidang akidah.
Semangat sekularisme ternyata telah mendorong munculnya libelarisme dalam berpikir di segala bidang. Kaum intelektual Barat ternyata ingin sepenuhnya membuang segala sesuatu yang berbau doktrin agama (Altwajri, 1997). Mereka sepenuhnya ingin mengembalikan segala sesuatunya pada kekuatan akal manusia; termasuk melakukan reorientasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat manusia, hidup, dan keberadaan alam semesta ini (persoalan akidah).
Altwajri memberi contoh penentangan para pemikir Barat terhadap paham keagamaan yang paling fundamental di bidang akidah, yaitu munculnya berbagai aliran pemikiran seperti: pemikiran marxisme, eksistensialisme, darwinisme, freudianisme dan sebagainya—yang memisahkan diri dari ide-ide metafisik dan spiritual tertentu, termasuk gejala keagamaan. Pandangan pemikiran seperti ini akhirnya membentuk pemahaman baru berkaitan dengan hakikat manusia, alam semesta dan kehidupan ini, yang berbeda secara diametral dengan paham keagamaan yang ada. Mereka mengingkari adanya Pencipta sekaligus tentu saja mengingkari misi utama Pencipta menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan ini. Mereka lebih suka menyusun sendiri, melogikakannya sendiri, dengan kaidah-kaidah filsafat yang telah disusun dengan rapi.
2. Bidang pemerintahan
Di bidang ini, yang dianggap sebagai pelopor pemikiran modern adalah Niccola Machiavelli, yang menganggap bahwa nilai-nilai tertinggi adalah yang berhubungan dengan kehidupan dunia, yang dipersempit menjadi nilai kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasaan belaka. Agama hanya diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu sendiri (Nasiwan, 2003). Di samping itu, muncul pula para pemikir demokrasi seperti John Locke, Montesquieu, dan lain-lain yang mempunyai pandangan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan konstitusional yang mampu membatasi dan membagi kekuasaan sementara dari mayoritas, yang dapat melindungi kebebasan segenap individu-individu rakyatnya. Pandangan ini kemudian melahirkan tradisi pemikiran politik liberal, yaitu sistem politik yang melindungi kebebasan individu dan kelompok, yang di dalamnya terdapat ruang bagi masyarakat sipil dan ruang privat yang independen dan terlepas dari kontrol negara (Widodo, 2004). Konsep demokrasi itu kemudian dirumuskan dengan sangat sederhana dan mudah oleh Presiden AS Abraham Lincoln dalam pidatonya tahun 1863 sebagai, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Roberts & Lovecy, 1984).
3. Bidang ekonomi.
Di bidang ini, mucul tokoh besarnya seperti Adam Smith, yang menyusun teori ekonominya berangkat dari pandangannya terhadap hakikat manusia. Smith memandang bahwa manusia memiliki sifat serakah, egoistis, dan mementingkan diri sendiri. Smith menganggap bahwa sifat-sifat manusia seperti ini tidak negatif, tetapi justru sangat positif, karena akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan. Smith berpendapat bahwa sifat egoistis manusia ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merusak masyarakat sepanjang ada persaingan bebas. Setiap orang yang menginginkan laba dalam jangka panjang (artinya serakah), tidak akan menaikkan harga di atas tingkat harga pasar. (Deliarnov, 1997).
4. Bidang sosiologi.
Di bidang ini muncul pemikir besarnya seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan sebagainya. Sosiologi ingin memahami bagaimana masyarakat bisa berfungsi dan mengapa orang-orang mau menerima kontrol masyarakat. Sosiologi juga harus bisa menjelaskan perubahan sosial, fungsi-fungsi social, dan tempat individu di dalamnya (Osborne & Loon, 1999). Dari sosiologi inilah diharapkan peran manusia dalam melakukan rekayasa sosial dapat lebih mudah dan leluasa untuk dilakukan, ketimbang harus ‘pasrah’ dengan apa yang dianggap oleh kaum agamawan sebagai ‘ketentuan-ketentuan’ Tuhan.
5. Bidang pengamalan agama.
Di bidang ini pun ada prinsip sekularisme yang amat terkenal, yaitu faham pluralisme agama yang memiliki tiga pilar utama, yaitu:
(1) prinsip kebebasan, yaitu negara harus memperbolehkan pengamalan agama apapun (dalam batasan-batasan tertentu);
(2) prinsip kesetaraan, yaitu negara tidak boleh memberikan pilihan suatu agama tertentu atas pihak lain;
(3) prinsip netralitas, yaitu negara harus menghindarkan diri dari suka atau tidak suka pada agama.
Dari prinsip pluralisme agama inilah muncul pandangan bahwa semua agama harus dipandang sama, memiliki kedudukan yang sama, namun hanya boleh mewujud dalam area yang paling pribagi, yaitu dalam kehidupan privat dari pemeluk-pemeluknya.

6. Bidang pendidikan.
Di bidang pendidikan, kerangka keilmuan yang berkembang di Barat mengacu sepenuhnya pada prinsip-prinsip sekularisme. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari kategorisasi filsafat yang mereka kembangkan yang mencakup tiga pilar utama pembahasan, yaitu (Suriasumantri, 1987): filsafat ilmu, yaitu pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan benar atau salah; filsafat etika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan baik atau buruk; filsafat estetika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan indah atau jelek.
Jika kita mengacu pada tiga pilar utama yang dicakup dalam pembahasan filsafat tersebut, maka kita dapat memahami bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan hanya didapatkan dari akal manusia, bukan dari agama, karena agama hanya didudukkan sebagai bahan pembahasan dalam lingkup moral dan hanya layak untuk berbicara baik atau buruk (etika), dan bukan pembahasan ilmiah (benar atau salah).
Dari prinsip dasar inilah ilmu pengetahuan terus berkembang dengan berbagai kaidah metodologi ilmiahnya yang semakin mapan dan tersusun rapi untuk menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang lebih maju. Dengan prinsip ilmiah ini pula, pandangan-pandangan dasar berkaitan dengan akidah maupun pengaturan kehidupan manusia, sebagaimana telah diuraikan di atas, semakin berkembang, kokoh, dan tak terbantahkan karena telah terbungkus dengan kedok ilmiah tersebut.
Umat Islam akhirnya memiliki standar junjungan baru yang lebih dianggap mulia ketimbag standar-standar yang telah ditetapkan al-Quran dan as-Sunnah. Umat lebih suka mengukur segala kebaikan dan keburukan berdasarkan pada nilai-nilai demokrasi, HAM, pasar bebas, pluralisme, kebebasan, kesetaraan, dan lain-lain; yang kandungan nilainya banyak bertabrakan dengan Islah

Pandangan Islam Terhadap Sekularisme
Untuk dapat menjawab persoalan ini, marilah kita mengembalikan satu persatu masalah ini pada pandangan al-Qur’an terhadap prinsip-prinsip sekularisme di atas, mulai dari yang paling mendasar, kemudian turunan-turunannya. Kita mulai dari firman Allah berikut:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang hendak Kami uji (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami menjadikannya mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya dengan jalan yang lurus; ada yang bersyukur ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. (QS al-Insan [76]: 2-4)

Ayat-ayat di atas memberitahukan dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menerima ujian dari Allah Swt., berupa perintah dan larangan. Allah juga memberi tahu bahwa datangnya petunjuk dari Allah untuk hidup manusia bukanlah pilihan bebas manusia (sebagaimana prinsip HAM), yang boleh diambil, boleh juga tidak; tetapi merupakan kewajiban asasi manusia (KAM), yang jika manusia tolak (kafir) maka Allah Swt. telah menyiapkan siksaan yang sangat berat di akhirat kelak untuk mereka.
Selanjutnya, bagi mereka yang berpendapat bahwa jalan menuju petunjuk Tuhan itu boleh berbeda dan boleh dari agama mana saja (yang penting tujuan sama), sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip pluralisme agama di atas, maka hal itu telah disinggung oleh Allah dalam firman-Nya: Q.S. Ali ‘Imran: 19 & 85:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
Siapa saja mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang merugi (masuk neraka). (QS Ali ‘Imran [3]: 85).

Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diridhai, namun ada penegasan dari Allah Swt., bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Jika Islam harus menjadi satu-satunya agama pilihan, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana manusia harus melaksanakan agama Islam tersebut? Allah Swt. memberitahu manusia, khususnya yang telah beriman, untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Perintah untuk masuk Islam secara keseluruhan juga bukan merupakan pilihan bebas, sebab ada ancaman dari Allah Swt. jika kita mengambil al-Quran secara setengah-setengah. Walaupun penjelasan Allah dari ayat-ayat di atas telah gamblang, masih ada kalangan umat Islam yang berpendapat bahwa kewajiban untuk terikat dengan Islam tetap hanya sebatas persoalan individu dan pribadi, bukan persoalan hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk menjawab persoalan itu, ada banyak ayat yang telah menjelaskan hal itu, di antaranya: firman Allah :

Hukumlah di antara mereka dengan apa saja yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48).

Perintah tersebut menunjukkan bahwa al-Quran juga berfungsi untuk mengatur dan menyelesaikan perkara yang terjadi di antara manusia. Dari ayat ini juga dapat diambil kesimpulan tentang keharusan adanya pihak yang mengatur, yaitu penguasa negara yang bertugas menerapkan al-Quran dan as-Sunnah. Selain itu, ada pembatasan dari Allah Swt. bahwa yang berhak untuk membuat hukum hanyalah Allah Swt. Manusia sama sekali tidak diberi hak oleh Allah untuk membuat hukum; tidak sebagaimana yang diajarkan dalam sekularisme. Oleh karena itu, tugas manusia di dunia hanyalah untuk mengamalkan apa-apa yang telah Allah turunkan kepada mereka; menyangkut urusan ibadah, akhlak, pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Jika manusia, termasuk penguasa, enggan untuk menerapkan hukum-hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir, zalim, dan fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47).

Referensi

Al-Quran al-Karim.
Altwajri, Ahmed O., 1997. Islam, Barat dan Kebebasan Akademis. Titian Ilahi Press. Jogjakarta.
Widodo, Bambang E. C., 2004. “Demokrasi, Antara Konsep dan Realita,” Makalah Diskusi Publik HTI. 29 Pebruari 2004. Jogjakarta.

KRISTENISASI

A. Dalil-Dalil Tentang Kristenisasi
Allah SWT menjelaskan tentang kebencian orang-orang kafir (Yahudi, Nasrani ataupun Umat Kristen lainnya) dan menginginkan kaum muslim itu lari dan keluar dari agama Islam sebagai agama yang haq atau dengan kata lain kristenisasi. Para musuh Islam dengan aneka ragam aqidah dan agamanya telah melakukan konspirasi terhadap Islam, siang malam sejak awal munculnya Islam di permukaan Bumi ini dan mengadakan maker terhadap kaum muslimin di setiap kesempatan, untuk mengeluarkan kaum muslimin dari Islam menuju kepada kegelapan, dan merobohkan Negara Islam serta melumpuhkan kekuatannya terhadap jiwa-jiwa kaum muslimin. Dalam surat al-Baqoroh;109 Allah berfirman.
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
”Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”

Dalam auat yang lain juga (al-Baqoroh:120) Allah juga menjelaskan dalam firman-Nya
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka”

B. Arti Luas kristenisasi
Secara garis besar kristenisasi adalah upaya pengkristenan secara total yang dilakukan oleh orang-orang kafir untuk menjadikan orang Islam sebagai pemeluk agama mereka dan keluar dari agama Islam.
Orang-orang kristen adalah orang-orang yang senantiasa mencurahkan segenap usaha dan kemampuan untuk untuk menghadapi perkembangan agama Islam di seluruh pelosok dunia. Dengan tujuan menggoncangkan aqidah kaum muslimin , dan memebuat mereka ragu terhadap agama mereka, sebagai langkah persiapan dalam mengeluarkan mereka dari Islam dan memaksa mereka untuk memeluk agama kristen.

D. Metode Kristenisasi
Dalam mewujudkan tujuan, mereka telah mengadakan banyak konferensi baik bersifat nasional ataupu internasional sejak seabad yang lalu samapi sekarang, untuk mengatur strategi dan menulis rangcangan dan menetapkan program-program mereka.
Diantara sarana mereka adalah pengiriman para misionaris ke seluruh dunia Islam untuk mendakwahkan agama Kristen, melalui pembagian media cetak, seperti buku-buku dan selebaran-selebaran yang mengenalkan agama Kristen, terjemahan injil dan media cetak lainnya, untuk meragukan orang-orang Islam, menyerang dan merusak citra Islam di muka Bumi, kemudian mereka menjalankan kristenisasi dengan jalan terselubung dan cara-cara yang tidak langsung.
Tampaknya dari cara-cara kristenisasi yang paling berbahaya adalah:
1.melalui medis atau pelayanan kesehatan masyarakat
2. kristenisasi melalui pendidikan
3. kristenisasi melalui media massa. Misalnya melalui radio-radio, layar telefisi, surat kabar, mjalah dan media cetak lainnya.
kristenisasi melalui audio visual (yang biasa disajikan untuk anak-anak kecil), seperti nyanyian-nyanyian dari kitab suci, film-film kartun dan lain-lain.
Selruruh media massa ini, baik yang bergambar, dibaca dan didengar, sama-sama mempercepat kristenisasi melalui kiat-kiat berikut:
1. mendakwakkan agama Kristen dengan menampakkan keistimewaannya yang semu
2. menyampaikan syubhat-syubhat kepada kaum muslimin, dalam aqidah, syiar-syiar keagamaan mereka
3. menyebarkan gambar-gambar porno, atau gambar-gambar yang membangkitkan birahi, merusak khlak, mengotori kesucian dan sehingga orang muslim menjadi kufur.

E. Fakta-fakta kristenisasi.
Jika kita membaca teks Konsili Vatikan II yang menyeru agar terus dilakukan gerakan misionaris, maka ternyata sesuai dengan fakta-fakta di lapangan, yang menunjukan gencarnya kaum kristen melakukan aksi pemurtadan terhadap kaum muslimin. Seperti kutipan fakta-fakta mereka berikut ini:
1. dalam sebuah imbauanbertajuk ”pope calls om cathilics to spread christianity” Pauls Jhon, Paul II mengeluarkan fatwa gerejani agar kaum katolik mengembil tindakan agar menyebarkan ajaran katolik. Ia menegaskan pentingnya melakukan kristenisasi terhadap semua nagian dunia. Termasuk negri-negri diman hukum islam berlaku dan melarang perpindahan agama.
2. Paus Yohannes, paulus sendiri tetap mengaku risau karena manusia yang tidak mengenal injil terus bertambah.tidak benara sama sekali jika ada yang mengatakan bahwa misi kristen untuk memurtadkan kaum muslimin sudah berakhir.
3. pada bagian ”Symbolum Athanasianum” dalam buku Lima Dokumen Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia memuat ajakan terhadap ajaran kristen, yaitu: bila ia ingin diselamatkan maka ia harus memegang erat kepercayaan gereja katolik. Bila tidak maka dia akan binasa, kepercayaan gereja katolik ialah kita beibadat kepada Allah yang bertubuh satu tetapi beroknum tiga dan beroknum tiga tetapi bertubuh satu, oknumnya tidak bercampur baur dan tubuhnya tidak bercerai berai.
4. gencarnya misi kristen dengan berbagai cara menunjukan bahwa konsep konsili vatikan II yang oleh sebagian kalangan dipotong bagian proyek kristenisasinya-terbukti hanya indah diatas kertas, tetapi tidak dilaksanakan di lapangan. Apakah cara ini bukan merupakan suatu bentuk pengelabuan terhadap kaum muslimin, agar tidak lagi mewaspadai misi kristen? Padahal, sebagai contoh, kaum kristen tetap menolak untuk mengajarkan pelajaran agama islam bagi siswa sekolah kristen.
Bukti lain strategi misionaris kristen untuk mengaburkan islam bukan hal baru. Dalam Konferensi Misionaris di kota Quds tahun 1935, Samuel Zwemer, seorang yahudi yang menjabat sebagai direktur organisasi misi kristen menyatakan, ”misi utama kita bukan menghancurkan kaum muslimin sebagai orang kristen, namun mengeluarkan seoarang muslim dari Islam, agar jadi orang yang tidak berakhlak sebagai seorang muslim. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsunya.
Salah satu strategi misi kristen lain saat ini adalah ”merusak islam”. Mereka hanya membujuk orang islam masuk kristen, tetapi juga berusaha menjauhkan umat islam dari ajaran agamanya. Harry Dorman, dalam bukunya Towards Understanding Islam, mengungkapkan pernyataan seorang misionaris, ”boleh jadi, dalam beberapa tahun mendatang sumbangan besar misionaris diwilayah-wilayah muslim akan tidak begitu benyak memurtadkan orang muslim, melainkan lebih banyak menyelewengkan islam itu sendiri. Inilah bidang tugas yang tidak bisa diabaikan”. Dr. Cragg, seorang misionatis terkenal inggris, menyatakan, ”tidak perlu diragukan bahwa harapan terakhir misi kristen hanyalah melaukan perubahan sikap umat muslim, sedemikian rupa sehingga mereka mau bertoleransi”.

C. Waspada Terhadap Kristenisasi
Dalam pembahasan kristenisasi kita ditegaskan agar berhati-hati dan waspada terhadap setiap perilaku dan strategi-strategi mereka. Kita dianjurkan mewaspadai terhadap gerakan orang-orang kafir.
Dalam hal ini, mungkin saja kita hanya terpaku pada perlawanan yang bersifat politis atau yang bersifat praktis seperti membendung gerakan kristenisasi secara fisik saja, tanpa kita kita menyadari bahwa kita sebenar justeru telah mengikuti ajaran-ajaran orang-orang kafir, baik dari cara berfikir, berbudaya, bahkan dalam cara memahami Islam. Sebagaimana digambarkan oleh Rosulullah dalam sebuah hadits yang artinya, ”sesungguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lobang biawakpun, kalian akan mengikutinya. Para sahabat bertanya, ”wahai Rosulullah, apakah yang dimaksud adlah orang-orang kafir (Yahudi-Nasrani)?. Jawab Rosul, ”siapa lagi kalau bukan mereka”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Dengan demikian, sebenarnya pola pikir orang-orang kafir sudah mempengaruhi pola pikir kaum muslim. Itu bisa terlihat ketika banyaknya kaum muslimin memahami nash-nash al-Quran atau Hadits menurut versi Injil.
Begitu pula dalam kenyataannya secara umum kaum muslimin banyak yang beradaptasi dengan orang-orang kafir, baik dalam peribadatan, muamalah, pola pikir, budaya, siyasah, tradisi dan lain-lain. Orang-orang kafir terus bergerak, dan kaum muslimin akan mandul menghadapi mereka jika mereka tidak membersihkan diri dan agama mereka dari pengaruh kebiasaan oarang-orang kafir. Karena Allah SWT berfirman dalam surat Ali-Imron: 100
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.
F. Solusi Menghadapi Kristenisasi
Untuk mengntisipasi tipu daya dan rencana busuk kristenisasi, maka dapat kita lakukan dan merupakan kewajiban secara umum dengan menyerahkan diri bahwa setiap kondisi memiliki kenyataan yang sesuai dengan kejadian dan pengaturan syar’i sebagai berikut:
1. menanamkan aqidah islam pada diri kaum muslimin secara kaffah
2. menyebarkan pemahaman agama yang benar dan membangkitkan ghirroh terhadap agama, kehormatan dan kesuciannya
3. memastikan pengawasan pada setiap pintu masuk bagi hasil produk orang-orang kristen, baik berupa film, selebaran, majalah dan yang lainnya.
4. pemahaman dan penyuluhan kepada orang-orang akan bahaya kristenisasidan cara-cara serta kiat-kiat misionaris, agar mereka berhati-hati dan tidak terperangkap oleh kristenisasi
5. memberikan perhatian yang baik kepada semua sektor penting kehidupan seorang muslim, baik ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain
6. hendaklah setiap muslim senantiasa berpegang teguh pada agama dan aqidahnya, bagaimanpun kondisi dan situasinya
7. peringatan terhadap setiap orang ataupun keluarga untuk tidak pergi ke negri-negri kafir, kecuali ada kepentingan yang mendesak.
8. membangkitkan interaksi sosial dan kerja sama di antara kaum muslimin.


Referensi
As-Sunnah, Nashara Terus Baergerak, Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Solo, edisi:09/V/1422H-2001M, Hal. 25-34
Dunia Islam, Islam Liberal Agama Baru Produk Yahudi, PT. Marwah Indo Media, Bogor, edisi ke-3 Mei 2006M/1427H, Hal. 19 dan 20