Minggu, 28 Juni 2009

Non Mazhab

A. PENGERTIAN MAZHAB
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”
Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. (Nahrawi, 1994: 208).
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.

B. ANTARA NON MAZHAB DAN TALFIQ
1. Non Madzhab
Pada masa sekarang ini, ada sekelompok orang yang berusaha melepaskan ummat Islam dari ikatan mazhab, usaha ini dirintis oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah, ibnu Hazm, Ibnul Qayyim dan lain-lainnya. Kemudian lebih dipopulerkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri aliran Wahabi) di Nejed Saudi Arabia, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha di Mesir dan Jamaluddin Al-Afghani di Afganistan.
Pendukung ide Muhammad Abduh di Mesir adalah Rasyid Ridha, Mustafa Al Maraghi, Abdul Majid As Salam, Mahmud Syaltut, Thanthawi Jauhari, Ali Adur Raziq, Zaki Mubarak, Farid Wajdi, ‘Aqqad Ahmad Amin. Thaha Husein, Qasim Amin, Sayyid Quthb dan lain-lain. Di Pakistan seperti Al Maududi ; di Indonesia seperti K.H Ahmad Dahlan, A. Hassan dan lain-lain.
Maksud sebenar seruan “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah” ialah meninggalkan ajaran seseorang imam mazhab jika ia secara pasti didapati tidak tepat berbanding dengan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih. Ajaran yang ditinggalkan itu juga hanya berkaitan dengan perkara yang tidak tepat saja dan bukannya keseluruhan ajaran imam mazhab tersebut.
Salah satu ciri utama setiap gerakan pembaharuan Islam di seluruh dunia ialah wataknya yang non mazhab, tetapi bukan anti mazhab. Watak ini dipandang perlu untuk memperoleh pangkalan tempat bertolak yang lebih luas, lebih sejati. Bukankah Islam pada masa dini dari kelahirannya sama sekali tidak diwarnai oleh “sengketa” mazhab yang sering menguras energi umat? Munculnya mazhab, baik itu dalam fiqh, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, dan dalam pemikiran politik, semata-mata sebagai hasil sejarah, demi menjawab persoalan-persoalan yang muncul karena tuntutan waktu dan kepentingan golongan tertentu dikalangan umat.
Sampai batas-batas yang tidak terlalu jauh, munculnya suatu mazhab mungkin merupakan sesuatu yang dapat dipahami karena kondisi zaman dalam sejarah Muslim memang menggiring orang kearah itu. Tapi bila madzhab itu telah dipandang sebagai kebenaran terakhir yang mewakili Islam, sebuah bahaya fanatisme yang merobek-robek perumahan kesatuan umat merupakan akibatnya yang logis. Dan inilah yang terjadi selama berabad-abad dalam perjalanan sejarah umat. Ruh Al-qur’an tentang persaudaraan sesama orang yang beriman tidak lagi jadi acuan dalam kita bermasyarakat, bernegara, dan bahkan dalam kita bertetangga. Fanatisme madzhab sebenarnya adalah simbol dari egoisme dan subjektivisme seseorang dalam beragama. Egoisme dan subjektivisme ini akan sangat berlarut-larut bila Al-qur’an tidak diminta turun tangan dalam meluruskan sikap mental yang menyimpang ini. Itulah sebabnya semua gerakan pembaharuan Islam menilai bahwa seruan untuk kembali kepada Al-qur’an dan As-sunah akan tetap relevan sepanjang zaman. Seruan ini dalam substansi maknanya adalah agar umat Islam tetap setia kepada sumber sejati dari ajaran agamanya.
Gerakan Islam non madzhab tidak punya beban apa-apa untuk meramu pilar peradaban Islam yang menyimpang dari pola peradaban Islam klasik yang berada dibawah payung dinastik-feodal. Bangunan peradaban feodalisme dinastik bukanlah ekspresi otentik dari gebrakan sejarah Islam masa awal. Gagasan kembali kepada Al-qur’an dan As-sunnah juga memuat pesan kembali kepada Islam yang lebih longgar, ramah, dan sejuk. Sekali lagi, saatnya sudah sangat tinggi bagi kita untuk berfikir keras dan merealisasikan agenda besar dan strategis itu. “Janganlah kau tiru deburan ombak. Yang hanya bernyanyi bila terhempas ke tepi pantai. Tapi jadilah air bah. Yang mengubah dunia dengan amalmu!” (Iqbal). Intelektualisme Islam haruslah senantiasa memuat praksisme Islam.
2. Talfiq
Gerakan non mazhab berbeda dengan talfiq, jika gerakan non mazhab ialah apa yang telah dipaparkan diatas, sedangkan "Talfiq" dalam bahasa Arab berarti "menyamakan" atau merapatkan dua tepi yang berbeda"
Sedangkan menurut istilah Talfiq adalah "mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab".
Artinya bahwa apabila talfiq, ia masih memiliki pegangan mazhab, akan tetapi hanya mengambil sesuatu pendapat yang tidak ada dalam mazhabnya.



C. Pendapat Para Imam Sekitar Mengikuti Sunah dan Meninggalkan Pendapat-pendapat yang Bertentangan dengannya
a. Abu Hanifah
Telah diriwayatkan darinya pendapat-pendapat dan ungkapan-ungkapan beragam yang semuanya bermuara pada satu makna. Yaitu, kewajiban mengambil hadits sabagai dalil dan meninggalkan pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya.
 Bila suatu hadits itu benar, maka itulah mazhabku.
 Tidak dibolehkan bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami bila tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.
 Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Allah dan khabar dari Rosulullah, hendaknya kalian meninggalkan pendapatku.
b. Malik bin Anas
Ia berkata sebagai berikut.
 Sesungguhnya aku adalah manusia yang terkadang salah dan terkadang benar, maka lihatlah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-qur’an dan Sunnah, maka ambillah. Setiap yang tidak sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah, tinggalkanlah.
 Setiap perkataan orang boleh dipakai atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi SAW.
 Ibn Wahab berkata, ”Aku mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari-jari kedua kaki dalam wudhu? Ia berkata ’hal itu tidak wajib.’ Lalu, saya meninggalkannya sampai orang-orang yang mengelilinginya sedikit. Saya katakan kepadanya, ’hal itu menurut kami sunnah.’ Malik bertanya, ’Apa haditsnya? Saya menjawab, ’Dikatakan Laits bin Sa’ad, Ibnu Luhai’ah, dan Amru bin Harits, dari Yazid bin Amru Al-Ma’afiri, dari Abu Abdurrahman al-habli, dari almustaurid bin syadad al-Quraisyi, ia berkata, ’Aku melihat Rosulullah menggosokkan jari-jari manisnya pada celah-celah jari-jari kedua kakinya.” Lalu Malik menyela, ’Hadits ini Hasan, aku tidak pernah mendengarnya kecuali sekarang ini.’ Kemudian dilain waktu ia ditanya dengan masalah yang sama, dan ia menyuruh agar menyela-nyela jari-jari kedua kakinya.
c. Imam Syafi’i
Ucapan Imam Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih baik. Para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya dan lebih menyenangkan. Diantara ucapannya adalah sebagai berikut.
 Tidak ada seorang pun yang bermazhab melainkan mazhab Rosulullah saw. apapun pendapat yang saya kemukakan, atau yang saya sarikan, sedangkan terdapat hadits yang bertentangan dengan pendapatku, maka yang benar adalah sabda Rosulullah saw. itulah pendapatku.
 Umat Islam telah berijma bahwa orang yang telah mengetahui sebuah hadits dari Rosulullah sw., maka tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil pendapat seseorang.
 Jika kalian mendapati dalam kitabku yang bertentangan dengan sunnah Rosulullah saw., maka ambillah sunnah Rosul dan tinggalkanlah pendapatku. Dalam sebuah riwayat dikatakan, ”Maka ikutilah, dan janganlah kalian mengikuti pendapat siapapun.
 Bila sebuah hadits dinyatakan shohih, maka itulah mazhabku.
 Kalian lebih mengetahui hadits dan rawi-rawinya dari pada aku. Bila suatu hadits dinyatakan shohih, maka beritahukanlah kepadaku dari manapun asalnya, dari kuffah, Basrah, atau Syam. Bila benar shohih, aku akan menjadikannya mazhabku.
 Setiap masalah yang ada haditsnya dari Rosulullah saw. menurut ahli hadits dan bertentangan dengan pendapatku, niscaya aku cabut pendapatku baik selama aku masih hidup atau setelah matiku.
 Bila kalian melihatku mengemukakan suatu pendapat, dan ternyata ada hadits sahih yang bertentangan dengan pendapatku, maka ketahuilah bahwa pendapatku tidak perbah ada.
 Semua yang aku ucakan, sedangkan ada hadits Nabi saw. yang sahih bertentangan dengan pendapatku, maka hendaknya diutamakan hadits nabi, janganlah bertaklid kepadaku.
 Setiap hadits yang sahih dari Rosulullah saw. adalah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya dariku.
d. Ahmad bin Hanbal
 Janganlah bertaklid kepadaku, Malik, Syafi’i, Auza’i, dan tidak pula Tsauri, ambillah dari apa yang mereka ambil.
 Al-Auza’i berpendapat, malik berpendapat, dan Abu Hanifah berpendapat. Menurutku, semuanya adalah ra’yu, sedangkan yang dapat dijadikan hujjah dalam masalah-masalah agama adalah atsar (hadits).
 Barang siapa menolak hadits Rosulullah saw. maka ia berada ditepi kehancuran.
Demikianlah pendapat-pendapat para Imam dalam masalah berpegang teguh pada hadits, dan larangan bertaklid tanpa pengetahuan.
D. Tentang Bermazhab
Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah Swt. kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita. (QS al-Hasyr [59]: 7).
D. Penutup
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu fenomena baru, tetapi semenjak masa Islam yang paling dini perbedaan pendapat itu sudah terjadi. Perbedaan terjadi adanya cirri dan pandangan yang berbeda dari setiap mazhab dalam memahami Islam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita umat Islam harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memendang serta memahami arti perbedaan, hingga sampai satu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik dengan bertentangan – selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran – dan Islam adalah satu dalam keragaman.

Referensi:
Sifat Shalat Nabi, Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Penerbit Akbar, Januari 2003.
Muhammadiyah sebagai Gerakan Non Mazhab
www. Grouplinks.yahoo.com
http:// diaz2000.multyply.com
http://wapedia.mobi/id/mazhab
www.media muslim.info
www.hizbit-tahrir.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bubuhkan komentar anda