Minggu, 28 Juni 2009

D A L A L A H

A. Pengertian Dalalah
Menurut bahasa Dalalah adalah kepada maksud tertentu. Dalam ushul fiqih ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang ditunjukan suatu lafadz atau petunjuk suatu lafadz kepada makna tertentu.

B. Dalalah Menurut Dua Imam Mazhab (Ulama Hanafiyah Dan Ulama Syafi’iyah)
• 4 macam Dalalah menurut ulama hanafiyah
1. Dalalah Ibrotun Nash
Ialah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik dari arti asli (arti yang mula-mula terpakai dengan disusunnya lafadz itu dalam suatu nash ataupun arti tabi’i (arti lain yang cukup jelas atau yangf mudah dapat dipahami dari lafadz tersebut)

2. Dalalah nash
Ialah petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hokum yang disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, illah yang dipahami dari lafasz itu sama dengan illah suatu peristwa yang tidak disebutkan hukumnya.

3. Dalalah isyaratun nash
Ialah petunjuk lafdz kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman (kemestian) dari arti yang dipahami dengan Dalalah ibrotun nash. Atau dengan bahsa Abu Zahroh, yaitu dengan menyimpulkan dari arti yang dipahami dengan Dalalah iabrotun nash.

4. Dalalah iqtidhaun nash
Ialah yang mengandung suatu pengertian dalam suatu hal yang tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz)
• 2 Macam Dalalah menurut ulama Syafi’iyah

1. Dalalah Mantuq
Ialah petunjuk lafadz kepada arti yang disebut oleh lafadz itu sendiri. Atau apa yang ditunjukkan oleh lafadz tentang apa yang dibicarakan. Syekh Muhammad Al Kkhudlari membagi Dalalah mantuq kepada dua bagian yaitu, mantuq sharih dan ghairi sharih.
1). Dalalah Manthuk Sharih, yaitu pentunjuk lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadz tersebut misalnya dalam firman Allah Swt :
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya : maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah..(QS. 17 : 23)
Lafadz pada ayat diatas, secara tegas menunjukan keharaman berkata kasar kepada kedua orang tua.
2). Dalalah Manthuk Ghoiru Sharin, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut.
Arti yang ditunjuki dengan adalah manthuk ghoiru sharih ini dapat berupa :
a) petunjuk lafadz kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran atau atau keabsahan suatu pembicaraan sangat tergantung kepadanya. Dalalah-Dalalah semacam ini, menurut ulama hanafiah disebutkan dengan Dalalah iqtidlaun nash. (untuk contohnya periksa pada contoh dari Dalalah iqtidlaun nash).
b) Petunjuk lafadz kepada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan ’ illah (alasan) bagi adanya arti tersebut, seandainya sifat bukan merupakan illahnya, maka tidak ada gunanya dengan menysbutkan itu. Seperti dalam firman Allah Swt
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya : ” laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri. Potonglah tangan keduanya..” (QS. 5 : 38).

2. Dalalah Mafhum
Dadalah mafhum ialah petunjuk lafadz kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadz tersebut, tetapi dari faham tersebut tersirat di dalam. Dalalah mafhum terbagi dua macam, yaitu Dalalah mafhum muwafaqah dan Dalalah mafhum mukhalafah.

1) Dalalah Mafhum Muwafaqah
Dalalah mafhum muwafaqah adalah pengertian yang menunjukan lafadz kepada berlakunya arti (hukum) sesuatu yang disebutkan oleh lafadz atas suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh lafadz yang disebutkan karena antara keduanya terdapat persamaan ’illah hukum ini adalah semata-mata difahami dari segi bahasa dari lafadz tersebut – bukan diambil dengan jalan ijtihad.

2) Dalalah Mafhum Mukhalafah
Dalalah mafhum mkhalafah adalah pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) yang disebutkan dalam nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafadz. Dalalah mafhum mukhalafah ini disebut juga dengan dalilul khitab. Dalam Dalalah mafhum mukhalafah dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu ; mafhum laqob, mafhum hasshr, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum ’adad.

a) Mafhum Laqab.
Mafhum laqab ialah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim jenis dalam suatu nash, sebagai contoh dari sabda Rasulullah Saw. Artinya : pada gandum dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.

b) Mafhum Hasr
Mafhum hasr merupakan hukum sebaliknya dari pada hukum yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafadz dalam suatu nash. Contoh sabda Nabi, artinya: hanya syuf’ah itu terdapat pada suatu (benda tetap) yang belum dibagi.

c) Mafhum Shifat
ialah petunjuk lafadz yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan oleh lafadz itu, pada sesuatu yang tidak didapati sifat yang disebutkan oleh lafadz tersebut. Contoh firman Allah (an-Nisa: 25)
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
artinya: dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.

d) Mafhum Syarat
Ialah petunjuk lafadz yang menfaedahkan adanya hukum yang dihubugnkan dengan atau syarat supaya dapat berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu. Contoh firman Allah (at-Tholaq: 6)
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
artinya: dan jika mereka (para istri yang ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah mereka nafkah hingga mereka melahirkan.

e) Mafhum Ghoyah
ialah petunjuk lafadz yang menfaedahkan sesuatu hukum samapi dengan batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum sebaliknya. Contoh firman Allah (al-Baqoroh:230)
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
artinya: kemudian jika suami mentalaqnya (sesudah talaq kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain.

f) Mafhum ’Adad
Ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang dengan bilang tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada bilangan lain tertentu yang berbeda dengan bilangan yang disebutkan oleh lafadz itu. Contoh firman Allah (an-Nur : 2)
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ
artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali.

Kehujahan Mafhum Mukholafah
Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya; yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengkias sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun para ulama pendukung kias yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad, ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan ketentuan:
1. Mafhum Mukholafah tidak bertentangan dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah (al-Isro’:31)
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah, karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
2. Apabila adanya pembatasan hukum yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa.
Arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, antara lain:
a. Pembatasan hukum tersebut sesuai dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal firman Allah (an-Nisa: 23)
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
b. Pembatasan hukum yang disebut dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda Nabi SAW: ”tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih tiga hari kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat bulan sepuluh hari”.
c. Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
d. Pembatasan hukum yang tersebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang mencari makan sendiri dikenakan zakat”.

Alasan ulam yang menjadikan mafhum mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1. Bahwasnya syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
3. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh”
Dalam buku ushul fiqih karya Drs. Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. mafhum mukallaf itu tidak bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan Qiyas daripadanya.
2. Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا
Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum Mukhalafah nya yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
3. Sesuatu yang disebutkan itu bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمَ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ {رواه البخارى مسلم}
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaknya ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Mafhum mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
4. jika kait disebutkan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi hujjah.
Misalnya firman Allah:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: “janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid…”. (QS. Al Baqarah: 187)
Kait dalam masjid-masjid mafhumnya yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah menunjukkan b ahwa bagi orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan isterinya.
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
Artinya: “anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).
Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan dalam pemeliharaannya.
6. jika suatu kait menunjukkan kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Surat Ali Imran: 130).
Kait dengan berlipat ganda tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba. Jadi ayat ayat ini tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat ganda itu hukumnya mubah (boleh).
7. jika suatu kait menunjukkan banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
Artinya: “Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.

Referensi
Tim Penyusun IAIN Sunan Kali Jaga, Ushul Fiqih, Jakarta, 1986
Zainal, Abidin, Ushul Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bubuhkan komentar anda