Rabu, 24 Juni 2009

MUJAHADAH

Kutipan Hadits Riyadus Sholihin

Artinya: “Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ssungguhnya Allah telah berfirman: siapa yang memusuhi kekasihku, maka aku akan menyatakan perang kepadanya. Dan tiada mendekat kepadaku seorang hambaku dengan sesuatu yang lebih kusukai dari pada menjalankan kewajiban, dan selalu seorang hambaku mendekat kepada ku denagn melakukan sunnat-sunnat, sehingga kusukai. Maka apabila aku telah kasih padanya,aku yang menjadi pendengarannya, dan sebagai tangan yang di gunakan dan kaki yang di jalankannya, dan apabila ia memohon kepadaku pasti ku kabulkan, dan jika berlindung kapadaku pasti ku lindungi” (HR. Bukhari)

Tidak ada sesuatu amal yang lebih utama daripad menunaikan kewajiban yang telah di wajibkan Allah, sedang segala perbuatan tambahan dari sunnat hanya penyempurnaan kekurangan-kekurangan yang terjadi dari yang wajib. Dan seorang yang di kasihi Allah, maka semua gerak harkatnya di pimpim dan di tolong dan akalu ada salahnya, di amafkan oleh Allah., bahkan di anggap semua itu seolah olah telah mendapat izin dari Allah., yang seolah-olah terlepas tanggung jawab dari semua itu. Demikian kebesaran rahmat karunia Allah, yang tidak terbatas (Penjelasan dari hadits di atas yang di ambil dari kitab Riyadus Shalihin)

Dalam Islam, aktivitas kerja yang disertai kesungguh-sungguhan dikenal dengan istilah mujahada. Sifat-sifat mujahadah ini mencakup setiap kinerja yang mengandalkan manajemen dan perangkat-perangkat pendukung lainnya.Namun seringkali, dalam mengusahakan sebuah cita-cita, kita menjadi terperangkap dalam rutinitas upaya dan kerja keras yang hampa akan tujuan hakiki. Kalaupun ditetapkan target dan tujuan, seringkali tidak ada hubungan sama sekali dengan sang pembuat cita-cita itu sendiri.
Inilah justru yang tak dikehendaki dalam Islam. Syarat keberhasilan lahir dan batin dalam Islam sejatinya bisa dirumuskan dari firman Allah SWT berikut, ''Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.'' (QS Al-Ankabut [29]: 69).Ayat ini tidak berbicara aktivitas jihad dalam konteks qital (berperang). Hal itu dikuatkan oleh Al-Imam As Syaukani bahwa ayat ini lebih menjelaskan aktivitas jihad dengan makna umum karena turun pada fase Makkiyah.
Dengan bahasa yang jelas dan tegas, ayat ini mensyaratkan terbukanya berbagai jalan keluar atau terbukanya jalan menuju tujuan bila mencakup dua hal. Pertama, dilakukan dengan kesungguhan. Kedua, aktivitas itu harus berada di jalan Allah SWT, dan dengan sendirinya mengharapkan ridha-Nya. (Fathul Qadhr, jilid IV, hal 266).

Segala aktivitas yang memiliki prasyarat tersebut, akan Allah SWT tunjukkan jalan-jalan menuju tujuan yang dikehendaki. Namun, disadari atau tidak, serigkali aktivitas kita hanya memenuhi syarat pertama, bahkan maksimalisasi usaha habis-habisan dikerahkan untuk porsi itu.Kita lengah dalam mengevaluasi, apakah aktivitas kita benar-benar memiliki visi dan misi yang bersifat Ilahiyah, ataukah hanya sekadar untuk urusan duniawi semata. Bahkan, sekecil apa pun urusan duniawi yang kita lakukan, sesungguhnya Islam tak pernah melepaskannya dengan nilai-nilai Ilahiyah.

Terlebih untuk sebuah kerja besar. Artinya, Islam sama sekali tidak mengenal dikotomi antara urusan duniawi dan ukhrawi. Islam mengajak kita untuk tidak hanya berusaha semaksimal mungkin dalam bekerja, tetapi juga meniatkan diri bahwa aktivitas kita ini benar-benar berada di jalan Allah SWT dan untuk keridhaan-Nya.Bila faktanya ada manusia yang sukses tanpa disertai visi dan misi berbasis keilahiyahan, ketahuilah bahwa kesuksesan itu hanya fatamorgana semata. Di sisi Allah SWT, ia belum bernilai apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bubuhkan komentar anda