Kutipan Hadits Riyadus Sholihin
“Abu Abdurahman (Zaid) bin Khalid Aljuhany r.a berkata: Rasulullah SAW, Bersabda: siapa yangmenyediakan keprluan orang yang akan berjuang Fisabilillah, berarti mia telah berjuang. Dan barang siapa yang emnjagakan hak milik orang lainyang sedang berjuang dengan baik, berati ia telah ikut berjuang”. (HR Bukhari dan Muslim)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk saling berta’awun (bekerja sama) di dalam kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari saling berta’awun di dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Alloh Jalla wa ‘Ala berfirman
”an tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah : 2)
1. Ta’awun yang syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan merupakan kalimat yang luas cakupannya, yang mencakup kebajikan seluruhnya, yang akan membawa akibat kepada kebaikan masyarakat muslim dan keselamatan dari keburukan serta sadarnya individu akan peran tanggung jawab yang diemban di atas bahunya. Karena ta’awun di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi dari kepribadiannya dan merupakan pondasi di dalam membina perabadan umat.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan ayat tadi (Al-Ma’idah : 2, pent) :
”Alloh Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Alloh melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”
Termasuk dalam pengertian ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits Tamim ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam bersabda :
“Agama itu nasehat”,
beliau ditanya : “bagi siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab :
“Bagi Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.”
An-Nushhu (nasehat) ditinjau menurut asal bahasa, artinya adalah mengikhlaskan diri terhadap sesuatu tanpa disertai tipuan dan khianat. Hal ini merupakan kewajiban ulama dan para penuntut ilmu yang pertama kali sebelum lainnya. Karena mereka (para ulama, pent) adalah pewaris para nabi, khalifah (pengganti) Rasul di dalam menerangkan kebenaran, berdakwah kepada Alloh, bersabar atas segala rintangan dan mengemban segala kesukaran. Alloh Ta’ala berfirman :
”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS Fushshilat : 33)
2. Ta’awun yang syar’iy merupakan konsekuensi harusnya memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum muslimin. Alloh Ta’ala berfirman :
”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar” (QS At-Taubah : 71).
Barangsiapa yang meninggalkan nasehat kepada saudaranya dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah seorang penipu dan bukan pembela mereka. Karena merupakan konsekuensi dari loyalitas adalah menasehati dan menolong mereka di dalam kebajikan dan ketakwaan.
3. Ta’awun (saling tolong menolong) diantara kaum muslimin merupakan kekuatan dan pelindung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menyerupakan ta’awun kaum muslimin, persatuan dan berpegangteguhnya mereka (pada agama Alloh) dengan bangunan yang dibangun dengan batu bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya. Demikianlah kaum muslimin, semakin bertambah kokoh dengan saling tolong menolong di antara mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
”Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian lainnya.”
Tidaklah umat Islam ini menjadi lemah dan musuh-musuhnya menguasainya, melainkan dikarenakan berpecah belah dan berselisihnya mereka, walaupun kuantitas dan jumlah mereka banyak. Alloh Ta’ala berfirman :
”Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS Al-Anfal: 46)
Perkara ini adalah suatu hal yang telah dikenal oleh fitrah yang lurus dan diketahui oleh akal yang sehat, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair yang bijaksana :”Tombak-tombak enggan menjadi hancur apabila mereka bergabung namun apabila berpisah maka akan hancur satu persatu”
Semua ini, tidak akan bisa ditegakkan melainkan di atas kalimat tauhid, karena kalimat tauhid merupakan pondasinya persatuan kalimat.
4. Ta’awun dan ittihad (persatuan).
Sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS Al-Mu’minun : 52)
Dan firman yang lain:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya’ : 92).
Ta’awun dan persatuan selayaknya ditegakkan di atas kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan menghantarkan pada kelemahan yang parah, berkuasanya para musuh Islam, terampasnya tanah air, terinjak-injaknya kehormatan dan terenggutnya tanah muqoddas (Palestina). Sebagai pembenar apa yang diberitakan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Kalian nyaris diperebutkan oleh umat-umat selain kalian sebagaimana makanan di sebuah tempayan yang diperebutkan manusia.”
Hadits ini mengisyaratkan tentang kesudahan umat ini yang berada di dalam kelemahan walaupun banyak jumlahnya, namun mereka berserakan, berjalan tanpa arah dan bergerak tanpa tujuan, maka Alloh timpakan atas mereka kehinaan yang akan menetap di bujur dan lintang (bumi ini). Sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Jika kalian telah sibuk dengan jual beli inah (sistem jual beli yang terdapat unsur riba, pent.), kalian terbuai dengan peternakan dan bercocok tanam, dan kalian tinggalkan jihad, maka akan Alloh timpakan di atas kalian kehinaan yang tidak akan terangkat sampai kalian kembali ke agama kalian.”
Seorang muslim, haruslah memiliki solidaritas dengan saudaranya, turut merasakan kesusahannya, tolong menolong di dalam kebajikan dan ketakwaan, agar umat Islam dapat menjadi satu tubuh yang hidup, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
“Perumpamaan kaum mukminin di dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh mengeluh maka akan memanggil seluruh anggota tubuh lainnya dengan terjaga dan demam.” (Muttafaq ‘alaihi)
5. Tawaashi (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan kesabaran merupakan sebab kesuksesan dari kerugian. Saling berwasiat di dalam kebenaran dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan. Dengan kedua hal ini, akan terpelihara agama ini, dan keduanya termasuk amar ma’ruf nahi munkar serta keduanya merupakan sebab terperolehnya kebaikan bagi negeri dan penduduknya. Alloh Ta’ala berfirman :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS Al-Ashr)
Kesempurnaan dan totalitas perkara ini adalah dengan saling berwasiat di dalam kasih sayang, kecintaan, loyalitas, kelembutan dan perhatian…
Para sahabat Rasulullah SAW tidak pernah berselisih kecuali (jika berselisih) mereka membaca
6. Diantara bentuk manifestasi ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan adalah : menghilangkan kesusahan kaum muslimin, menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong mereka dari orang yang berbuat aniaya, mengajari orang yang bodoh dari mereka, mengingatkan orang yang lalai diantara mereka, mengarahkan orang yang tersesat di kalangan mereka, menghibur atas duka cita mereka, membantu atas musibah yang yang menimpa mereka, menyokong jihad dan dakwah mereka, menyertai mereka di dalam sholat jum’at, sholat jama’ah dan ied (perayaan) mereka, mengunjungi orang yang sakit, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.
7. Alloh sungguh telah mencela tafarruq (perpecahan), karena perpecahan menghilangkan ta’awun (kerja sama), pertautan (hati), kecintaan, dan menghantarkan kepada perselisihan, kesedihan dan kebencian. Alloh Ta’ala berfirman :
“dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Rum : 31-32).
Perpecahan merupakan syi`ar (semboyan) kaum musyrikin, bukan syi`arnya kaum muwahidin (orang yang bertauhid) lagi mukmin. Oleh karena itu kaum salaf membenci tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq (bergolong-golongan). Bahkan mereka memerangi dan mengharamkannya.
8. Kita telah merasakan dan melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh hizbiyah (partisan) yang membinasakan, dari keburukan-keburukan dan bencana. Mereka mengintroduksikan rasa permusuhan dan kebencian di antara manusia, dikarenakan mereka berinteraksi dengan selain mereka dengan asas hizbi (kepartaian). Loyalitas mereka hanyalah untuk hizbi dan tanzhim (organisasi), tidak untuk Islam dan agama. Mereka lebih mendahulukan ukhuwah hizbiyah (persaudaraan kepartaian) ketimbang ukhuwah imaniyah (persaudaraan keimanan). Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah berafiliasi dulu dengan partai mereka. Adapun muslim non partisan (ghoyru hizbi), sekalipun ia teman lama dan sahabat akrabnya, syi`ar mereka terhadapnya adalah “ini termasuk kelompoknya dan ini termasuk musuhnya”.
Termasuk keburukan dan penyimpangan mereka lainnya adalah mereka lebih mengedepankan orang-orang bodoh, menjadikan gerakannya sebagai ‘gerakan bawah tanah’, melemparkan benih-benih keraguan di tengah-tengah kaum muslimin, mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil, menjadikan luapan semangat dan perasaan sebagai asas, menomorakhirkan ilmu dan membuat keragu-raguan terhadap para ulama.
Apabila datang seorang pemberi nasehat yang jujur dari barisan mereka, niscaya mereka akan menuduhnya sebagai : orang yang menyeleweng dari manhaj, orang yang menghendaki perpecahan dan menelantarkan teman seperjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bubuhkan komentar anda