PENERTIAN MUTLAK DAN MUQAYYAD
Mutlak artinya lepas tidak terikat. Oleh ushullul Fiqih yang dimaksud muthlak ialah suatu lafadh yang menunjukan kepada dzat sesuatu dengan tidak ada syarat, sifat atau suatu ketentuan.
Contohnya : “ rajulun= orang laki-laki “
Muqayyad artinya tidak terlepas yakni terikat. Oleh ushullul Fiqih yang dimaksud Muqayyad adalah suatu lafadh yang terikat oleh sifat atau syarat atau sesuatu ketentuan.
Contohnya : ” rajalun ’alimun = orang laki- laki yang alim ”.
Misalnya firman Allah yang berhubungan dengan kifarat ” dhihar” dinyatakan dengan lafadh yang muthlak, seperti firman Allah : ” Maka membebaskan seorang hamba sahaya ” (Al-Mujadalah, ayat 3 ) dalam ayat ini tidak dinyatakan apakah hamba yang mukmin atau kafir. Sedang dalam kifarat pembunuhan dinyatakan dalam muqayyad, sebagaiman firman Allah : ” Maka membebaskan seorang hamba yang sahaya yang beriman”. (QS. An-Nisa’, ayat 92).
Menurut ulama ushul, mutlak ialah
لفظي يقلل شيوعه لفظ خاص لم بقيد
artinya : Suatu lafadz tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Seperti kata: bintang, burung, siswa, buku dan sebagainya. Lafadz-lafadz tersebut adalah untuk menyatakan kesatuan dari suatu jenisnya termasuk mana saja tanpa dibatasi oleh apa dan bagaimana satuan itu. Bila telah dibatasi oleh lafadz lain umpamanya binatang mamalia, burung kakak tua, siswa SMP, buku pelajaran matematika dan sebagainya maka lafadz tadi telah menjadi lafadz muqayyad, artinya: luas jangkauannya telah terbatas sedikit daripada waktu masih mutlaknya. Dengan demikian lafad muqayyad dapat dikatakan:
لفظي يقلل شيوعه لفظ خاص قيد بقيد
artinya: suatu lafadz tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Dengan kata lain sebenarnya lafadz muqayyad adalah lafadz mutlak yang diberikan kaitan dengan lafadz lain sehingga artinya menjadi lebih tegas dan terbatas daripada waktu masih mutlak. Walaupun demikian keterbatasan lafadz muqayyad seperti contoh di atas itu tidak pula menghilangkan jangkauannya kepada sifat-sifat lain, artinya sifat-sifat yang lain masih ada padanya umpamanya siswa SMP sepuluh Bogor, buku pelajaran matematika dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah firman Allah berikut:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ * فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar istri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya berpuasa dua bulam berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka barangsiapa yang tiada kuasa, wajiblah baginya memberi makan enam puluh orang miskin.” (QS. 58: 3-4)
Penyebutan lafadzرَقَبَةٍ dalam ayat tersebut adalah mutlak maka boleh budak yang kafir atau budak yang mukmin.
Penyebutan lafadz شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ, adalah muqayyad maka puasa itu harus berturut-turut selama dua bulan, tidak boleh terputus-putus. Dari segi pelaksanaan kifarat dari ayat tersebut di atas juga menunjukkan adanya muqayyad dan mutlak yaitu:
a. Memerdekakan budak dan berpuasa dua bulan berturut-turut, harus dilakukan sebelum kedua suami istri itu bercampur. Disini hukumnya muqayyad.
b. Memberi makan enam puluh orang miskin, tidak disebutkan sebelum atau sesudah bercampur. Disini hukumnya mutlak. Tetapi karena memberi makan itu sebagai pengganti dari budak atau puasa dua bulan tersebut. Maka memberi makan kepada enam puluh orang miskin itupun dilaksanakan sebelum mereka bercampur.
Hukum-hukum Mutlak dan Muqayyad
Lafadz mutllak dan muqayyad masing-masing menunjukkan kepada makna yang qath’I dalalahnya. Karena itu bila lafadz itu mutlak, maka harus diamalkan sesuai dengan mutlaknya, bila lafadznya itu muqayyad, maka harus diamalkan sesuai dengan muqayyadnya. Contohnya:
1. Lafadz mutlak yang harus dilaksanakan sesuai dengan
kemutlakannya. Firman Allah mengenai wanita-wanita yang haram untuk dinikahi (QS. 4: 23). Di sana tersebutوَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ ,sesudahnya penyebutan حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ lafadz أُمَّهَاتُكُمْadalah mutlak yang memberi pengertian haram mengawini ibu si istri.
2. Lafadz mutlak yang dallilnya menyebabkan ia menjadi muqayyad, Firman Allah mengenai warits (QS. 4: 11) disebutkan مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ,lafadz وَصِيَّةٍ ,adalah mutlak tanpa ada batasan apakah wasiat itu 1/2 , 1/3 atau seluruhnya. Akan tetapi di tempat lain rasulullah Saw mengabarkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqas bertanya kepada rasul jumlah wasiat terhadap harta bendanya. Rasulullah Saw bersabda:
الثلث والثلث كثير
Artinya: “Sepertiga dan sepertiga itu banyak.”
3. Lafadz muqayyad yang tetap atas muqayyadnya, firman Allah tentang kifarat Zhihar (QS. Al-Mujaddalah: 3-4)
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ * فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Lafadz muqayyad yang tidak menjadi muqayyad karena ada dalil lain. Contohnya firman Allah surat an-Nissa ayat 23:
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ Lafadz رَبَائِبُكُمُ (anak tirimu) adalah mutlak yang diberikan batasan dengan dua batasan yang pertama اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ (yang berada dalam pemeliharaanmu) dan yang kedua ibunya sudah dicampuri اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ ,batasan yang kedua yaitu ibu yang sudah dicampuri tetap diamalkan selama ibunya belum dicampuri. Bila sudah dicampuri, maka hukumnya haram. Adapun batasan yang pertama ”yang berada dalam pemeliharaanmu” bukanlah batasan yang dapat dipegang untuk mengharamkan kawin dengan anak tiri.
Fariasi mutlak dan muqayyad
Kadang nash syara’ itu pada suatu tempat keadaanya mutlak dan ditempat lain muqayyad. Pertanyaannya apakah diamalkan kedua-duanya menurut tempatnya masing-masing ataukah yang mutlak itu dibawa kepada muqayyad sehingga yang diamalkan adalah yang muqayyadnya. Jumhur ulama baik Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat apabila objek hukum dan sebabnya sama, maka yang mutlak itu harus dibawa kepada muqayyad. Sebaliknya bila hukumnya tidak sama, maka yang mutlak tidak dibawa kepada muqayyad, kecuali ada dalil-dalil yang lain.
Dari segi lain terdapat pula fariasi antara dua nash yaitu mutlak dan muqayyad pada dua tempat, kadang-kadng hukumnya dan sebabnya sama kadang keduanya berbeda kadang kala salah satunya saja yang berbeda.
Contoh:
1. Hukum dan sebabnya sama, maka mutlak dibawa ke muqayyad, firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Artinya: ”Diharamkan bagimu memakan bangkai dan darah,dan daging babi.”
Di tempat lain Allah berfirman:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
Artinya: ”Katakanlah: tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” (al-An’am: 145)
Lafadz الدَّمُ ,pada ayat pertama adalah mutlak dan lafadz دَمًا مَسْفُوحًا
pada ayat kedua adalah muqayyad. Hukum disini ialah ”Haram Darah” dan sebabnya ialah ”ingin makan”karena keduanya samamaka yang mutlak dibawa ke muqayyad menjadi penjelas bagi mutlak
2. Berbeda hukum atau sebab hukumnya sama, maka menurut Abu Hanifah dan kawan-kawannya mutlak tidak dibawa kepada muqayyad. Seperti hukum kifarat pembunuhan dengan tidak sengaja (kekeliruan) ialah: فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ,kedua hukumnya sama. Ialah memerdekakan budak, tetapi sebabnya berbeda yaitu membunuh dengan tidak sengaja dan zhihar.
3. Berbeda hukum dan sama sebab, tidak dibawa yang mutlak kepada muqayyad kecuali ada dalil yang lain. Contohnya hukum berwudhu dan tayamum. Pada wudhu’ tangan wajib dibasuh sampai mata siku (QS. Al-Maidah: 6) sedang pada tayamum, tidak dijelaskan sampai ke siku atau mutlak. (QS. An-Annissa: 43).
Disini sebabnya sama, yaitu bersuci tetapi hukumnya berbeda, yaitu membasuh tangan pada saat wudhu’ sampai ke mata siku dan menyapu tangan pada tayamum. Jadi masing-masing tetap pada tempatnya.
4. Berbeda sebab dan berbeda hukum, contohnya Firman Allah (QS. Al-Maidah: 6 dan 38).
Lafadz أَيْدِيَهما ,pada ayat pertama adalah mutlak dan lafadz وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِق ,pada ayat kedua ialah muqayyad. Kasus ini kelihatan hukumnya berbeda, yaitu hukum potong tangan dan hukum membasuh tangan. Sebabnya berbeda, yaitu pertama dikarenakan mencuri dan yang kedua dikarenakan bersuci. Jadi kedua-duanya sama tetap pada tempatnya.
referensi
1. ....., Buku Fiqh II Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1985, Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
2. Drs. H. Moh Rifai, Ushul Fiqih, penerbit wicaksana, semarang 1984.
Minggu, 28 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bubuhkan komentar anda