Minggu, 28 Juni 2009

KONSEP PEMIKIRAN DA’WAH DOKTOR HAJI MOHAMMAD NATSIR

A. Pendahuluan
Kalau ada seorang muslim yang paling berpengaruh di Indonesia salah satunya adalah Mohammad Natsir, tokoh reformis, religius dan nasionalis, tokoh yang sangat berpengaruh dalam upaya pergulatan kemerdekaan dan pembentukan Negara Republik Indonesia bersama Sukarno, Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.
Mohammad Natsir adalah dai pejuang Islam yang mencoba mewarnai negara ini dengan nilai-nilai Islam yang aplikatif, bukan Islam politik tetapi mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang universal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berbanding lurus dengan salah satu pemikiran beliau yang mencerminkan personifikasinya yang anti sekulerisme, menurut beliau tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan nyata, dengan menolak bentuk negara dengan ideologi sekulerisme dan westernisasi ala Mustafa Kamal Attaturk di Turki. Pendapat beliau tentang sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap hanya didalam batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan dan sebagainya. Walaupun mereka mengakui adanya Tuhan, tetapi dalam persoalan hidup sehari hari umpanya, seorang sekuleris tidak menganggap perlu hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun dalam arti doa dan ibadah.
Pemikiran Da’wah beliau menjadi penting untuk diulas dalam konteks kekinian karena menyangkut beberapa aspek kehidupan yang penting bagi umat yang saat ini kehilangan ruh keislaman yaitu ”Islamisasi hayah” menjadikan Islam sebagai jalan hidup dalam semua aspek kehidupan riil tanpa terkecuali dan menjadikan Islam sebagai solusi sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta menjadikan politik bagian dari perjuangan Islam di Indonesia. Beliau tidak mentabukan Islam terjun didunia politik yang justru merupakan titik lemah umat Islam di Indonesia, mayoritas tetapi terpinggirkan dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemikiran Mohammad Natsir menjadi penting dan relevan untuk dikaji ditengah kenyataan kondisi umat yang membutuhkan stimulan dan daya lecut kebangkitan Islam, mencari jalan keluar dari cengkraman hegemoni barat.
B. Sejarah Hidup
Mohammad Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993 adalah pemimpin Masyumi dan salah seorang tokoh politik dan tokoh Islam di Indonesia. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau. Natsir pada mulanya sekolah di Sekolah Dasar pemerintah di Maninjau, kemudian HIS pemerintah di Solok, HIS Adabiyah di Padang, HIS Solok dan kembali HIS pemerintah di Padang. Natsir kemudian meneruskan studinya di Mulo Padang, seterusnya AMS A 2 (SMA jurusan Sastra Barat) di Bandung. Walaupun akan mendapatkan beasiswa seperti di Mulo dan AMS untuk belajar di Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, dia tidak melanjutkan studinya dan lebih tertarik pada perjuangan Islam.
Pendidikan agama mulanya diperoleh dari orang tuanya, kemudian ia masuk Madrasah Diniyah di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al Qur’an pada malam hari di surau. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika dia berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam di Bandung. Kepribadian A Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam argumentasinya dan berani mengemukakan pendapat tampaknya cukup berpengaruh pada kepribadian Natsir kemudian. Natsir mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan Natsir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam.
Pengalaman organisasinya mulai ketika dia masuk Jong Islamieten Bond (JIB) di Padang. Di Bandung dia menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932, menjadi ketua Partai Islam Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun empat puluhan menjadi anggota Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), cikal bakal partai Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang kemudian dipimpinnya. Ia menjalin hubungan dengan tokoh politik seperti Wiwoho yang terkenal dengan mosinya “Indonesia Berparlemen” kepada pemerintah Belanda, dengan Sukarno, dan tokoh politik Islam lainnya yang kemudian menjadi tokoh Masyumi, seperti Kasman Singodimejo, Yusuf Wibisono dan Mohammad Roem.
Berbeda dengan tokoh pergerakan lainnya, sejak semula Natsir juga bergerak di bidang dakwah untuk membina kader. Pada mulanya ia aktif dalam pendidikan agama di Bandung, kemudian mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang mengasuh sekolah dari TK, HIS, Mulo dan Kweekschool yang dipimpinnya 1932-1942.Di samping itu ia rajin menulis artikel di majalah terkemuka, seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Dalam tulisannya dia membela dan mempertahankan Islam dari serangan kaum nasionalis yang kurang mengerti Islam seperti Ir. Sukarno dan Dr. Sutomo. Khusus dengan Sukarno, Natsir terlibat polemik hebat dan panjang antara tahun 1936-1940an tentang bentuk dan dasar negara Indonesia yang akan didirikan. Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi ala Turki di bawah Kemal Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. Tulisan-tulisannya yang mengeritik pandangan nasionalis sekuler Sukarno ini kemudian dibukukan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid buku Capita Selecta.
Kegiatan politik Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta 1948 Natsir ditujuk sebagai Menteri Penerangan. Sebagai menteri, tanpa rasa rendah diri dia menerima tamunya di kantor menteri dengan pakaian amat sederhana, ditambal, sebagaimana ditulis kemudian oleh Prof. George Kahin, seorang ahli sejarah Indonesia berkebangsaan Amerika yang waktu itu mengunjunginya di Yogya.
Ketika terbentuknya negara RIS sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, Natsir memelopori kembali ke negara kesatuan RI dengan mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS pada tanggal 3 April 1950. Bersama dengan Hatta yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri RIS, ide ini tercapai dengan dibentuknya negara kesatuan RI pada 17 Agustus 1950. Mungkin atas jasanya itu, Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Sukarno, atau juga karena pengaruhnya yang besar, sebagaimana kemudian terlihat dari hasil Pemilu 1955.
Karena tidak mungkin lagi terjun ke politik, Natsir mengalihkan kegiatannya, berdakwah melalui perbuatan nyata dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Pada tahun 1967 dia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang aktif dalam gerakan amal. Lembaga ini dengan Natsir sebagai tokoh sentral, aktif berdakwah bukan saja kepada masyarakat dan para mahasiswa di Jakarta dan kota lainnya, tapi juga di daerah terasing, membantu pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan mesjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah. Bahkan di antara mahasiswa ini kemudian menjadi tokoh nasional yang religius seperti Amien Rais Yusril Ihza Mahendra, dan Nurchalis Majid, di antara beberapa tokoh penggerak orde reformasi yang mengganti orde Suharto.
Kegiatan dakwahnya ini telah menyebabkan hubungannya dengan masyarakat luas tetap terpelihara, hidup terus sebagai pemimpin informal. Kegiatan ini juga membawa Natsir menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional dengan menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967)dan anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di samping bantuan para simpatisannya di dalam negeri, badan-badan dunia ini kemudian banyak membantu gerakan amal DDII, termasuk pembangunan Rumah Sakit Islam di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London.
Namun kebebasannya hilang kembali karena ia ikut terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980. Ia dicekal dalam semua kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri. Sejak itu Natsir aktif mengendalikan kegiatan dakwah di kantor Dewan Dakwah Salemba Jakarta yang sekalian berfungsi sebagai masjid dan pusat kegiatan diskusi, serta terus menerus menerima tamu mengenai kegiatan Islam.
Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam. Dan yang terakhir beliau secara resmi di angkat sebagi pahlawan pada November 2008.
Pada tanggal 7 Februari 1993 Natsir meninggal dunia di Jakarta dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tapi juga dari luar negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang mengirim surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia.
Walaupun telah tiada, buah karya dan pemikirannya dapat dibaca dari puluhan tulisannya yang sudah beredar, mulai dari bidang politik, agama dan sosial, di samping lembaga-lembaga amal yang didirikannya. Perkawinannya dengan Nur Nahar, aktifis JIB pada tahun 1934 di Bandung telah memberinya enam orang anak. Beliau termaksuk seorang penulis yang bayak mengasilkan karyanya, salah satu buku da’wahnya adalah “Fiqh Adda’wah”
C. Pemikiran Mohammad Natsir
Pemikiran politik Natsir adalah pemikiran politik Islam, pandangan Natsir tentang Islam adalah agama pembebasan yang menegakan kemerdekaan jiwa seseorang dari kemusrikan dan takhayul dan rasa takut kepada selain Allah. Pembebasan manusia dari penindasan manusia dan golongan, pembebasan dari kemiskinan dan kefakiran, pembebasan manusia dari taassub (chauvinisme), yang menjadi sumber angkara murka antara bangsa dan bangsa, yang mencoba menegakan masyarakat dari musyawarah dengan menghargai nilai-nilai kemanusiaan, atas dasar hidup memberi hidup, bukan atas dasar siapa yang kuat, siapa diatas, siapa yang lemah, siapa mati (Survival of the fiftest).
Secara garis besar pemikiran Da’wah Islam Mohammad Natsir yang dikaji dalam makalah ini meliputi tiga hal yaitu Mohammad Natsir dalam hubungannya dengan Sekulerisme, Misi Kristenisasi, Perang pemikiran dan orientalisme, dan Islamisasi Hayah.
1. Muhammad Natsir dan Sekularisme
Pendapat beliau tentang sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap hanya didalam batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan dan sebagainya. Walaupun mereka mengakui adanya Tuhan, tetapi dalam persoalan hidup sehari hari umpanya, seorang sekuleris tidak menganggap perlu hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun dalam arti doa dan ibadah.
Kenyataan saat ini sekulerisme telah mengglobal dan mencengram dunia Islam, puncak keberhasilan sekulerisme barat adalah runtuhnya khilafah di Turki tahun1924, Kemal Attaturk meruntuhkan khilafah Islam Turki dan mengubah menjadi Turki yang Sekuler. Namun saat ini barat harus kembali berhadapan dengan proyek kebangkitan Islam yang mulai berhembus diseluruh penjuru dunia.
2. Muhammad Natsir dan Misi Kristenisasi
Selain dikenal sebagai sosok yang alim beliau juga dikenal sebagai sosok yang berani melawan misionaris dan zending di Indonesia, ini dibuktikan oleh sebuah artikel yang ditulis Natsir pada tahun 1938, yang berjudul ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”. (Ejaan telah disesuaikan dengan EYD).
Natsir membuka tulisannya dengan untaian kalimat berikut:
”Sebaik-baik menentang musuh ialah dengan senjatanya sendiri! Qaedah ini dipegang benar oleh zending dalam pekerjaannya menasranikan orang Islam. Tidak ada satu agama yang amat menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka daripada agama Islam.”
Artikel Natsir ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938. Natsir sangat peduli dengan Konferensi tersebut, yang antara lain menyorot secara tajam kondisi umat Islam Indonesia. Dr. Bakker, seorang pembicara dalam Konferensi tersebut mengungkapkan kondisi umat Islam sebagaimana yang digambarkan dalam buku Prof. Dr. H. Kraemer, The Christian Message in a non-Christian World. Kata Dr. Bakker, ”Orang Islam yang berada di bawah pemerintahan asing lebih konservatif memegang agama mereka dari negeri-negeri yang sudah merdeka.”
Menanggapi rencana Misi Kristen di Indonesia tersebut, Natsir mengimbau umat Islam:”Waktu sekaranglah kita harus memperlihatkan kegiatan dan kecakapan menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi. Jawablah Wereldcongres dari Zending itu dengan congres Al-Islam yang sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk memperteguh benteng keislaman. Sebab tidak mustahil pula di negeri kita ini, suara azan bakal dikalahkan oleh lonceng gereja. Barang bathil yang tersusun rapi, akan mengalahkan barang haq yang centang-perenang.!” (Dimuat di Majalah PANDJI ISLAM, No. 33-34, 1938; dikutip dari buku M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (kumpulan karangan yang dihimpun dan disusun oleh Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: CV Bulan Sabit, 1969).
Demikianlah salah satu pesan Natsir yang mengingatkan kaitan erat antara gerak Penjajahan, Misi Kristen, dan Orientalisme. Karena pentingnya peran pendidikan ala Barat dalam menjauhkan generasi muda Islam dari agamanya, bisa dimengerti jika Natsir sangat serius dalam upaya pendirian sejumlah universitas Islam di Indonesia. Kita berdoa, mudah-mudahan civitas academica di kampus-kampus Islam yang dipelopori pendiriannya oleh Natsir memahami misi besar ini, dan tidak terjebak ke dalam paham-paham sekularisme atau liberalisme Barat yang secara gigih diperangi oleh Natsir sepanjang hidupnya.
3. Muhammad Natsir dan Perang pemikiran & Orientalisme
Perang pemikiran atau ghazwul fikr saat ini merebak seiring dengan upaya sekulerisme dan memperkecil pengaruh Islam pada pemeluknya, Natsir pernah menyebutkan dalam tulisannya, bahawa Prof. Snouck Hurgronje pernah menulis dalam bukunya, Nederland en de Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam). Pengaruh itu begitu terasa saat ini perang pemikiran menggunakan berbagai macam cara, target antara perang pemikiran yang dilancarkan barat ke dunia Islam adalah melepaskan Al-Qur`an (syariat) dari umat Islam, Identitas Islam lepas dari ruh Islam sehingga dapat dengan mudah semua sumber daya bisa direbut barat tanpa susah payah dengan jalan berperang, inilah penjajahan model baru.
4. Muhammad Natsir dan Islamisasi Hayah
Pemikiran M Natsir yang juga menarik untuk ditelaah adalah upaya Islamisasi Hayah, upaya untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan negara. Karena inilah yang dilakukan Rasulullah Saw pada tahapan salah satu tahapan dakwahnya; menegakkan negara. Sebagai sebuah bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar manusia dan sistem. Manusialah yang akan mengisi supra struktur, sedang sistem adalah perangkat lunak, sesuatu dengan apa negara bekerja. Dan Islam adalah sistem itu, maka ia given. Tapi manusia adalah suatu yang dikelola, dibelajarkan, sedemikian rupa sampai sistem terbangun dalam dirinya sebelum kemudian mengoperasikan negara dengan sistem tersebut. Dan untuk itulah Rasulullah Saw memilih manusia-manusia terbaik yang akan mengoperasikan negara itu.
D. Pandangan Dakwah Dr. M.Natsir
Suatu hari Prof. Didin Hafidhuddin berbincang dengan Allahu-yarham Bapak Mohammad Natsir dan Bapak KH Sholeh Iskandar di Pondok Pesantren Darul Fallah, Bogor. Pesantren Darul Fallah adalah salah satu gagasan Pak Natsir dalam rangka mencetak dai yang selain menguasai pengetahuan keislaman juga memiliki skill pertanian yang terkait dengan pembangunan pedesaan.
Pak Natsir menyampaikan kepada Prof. Didin dan Pak Sholeh Iskandar bahwa dalam upaya mempercepat dan mengembangkan dakwah di Indonesia, ada tiga institusi atau tiga pilar utama yang harus diperkuat, yaitu masjid, pondok pesantren, dan kampus.
Dalam pandangan dan pemikiran Pak Natsir, dari masjid diharapkan lahir jamaah yang solid dan kuat, bukan hanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi juga muamalah. Dalam buku Fiqhud Da’wah beliau mengutarakan masjid adalah lembaga risalah, tempat mencetak umat yang beriman, beribadah menghubungkan jiwanya dengan Khaliq, umat yang beramal saleh dalam kehidupan masyarakat, umat yang berwatak dan berakhlak teguh.
Pesantren diharapkan menjadi tempat lahirnya ulama, kiai, dan ustadz yang memiliki komitmen dan semangat kuat mendakwahkan Islam ke seluruh Tanah Air. Pak Natsir sangat memahami dan menghargai peranan pesantren dalam perspektif sejarah umat Islam. Istilah yang beliau sampaikan, pesantren merupakan kubu pertahanan mental dari abad ke abad.
Kampus diharapkan melahirkan cendekiawan dan pemimpin di berbagai lapangan kehidupan. Betapa besar kekuatan yang dapat dibangun bila sudah bertemu pesantren dengan universitas. Kemudian, sama-sama berjumpa di masjid. Perpaduan ketiga pilar tadi bukan semata bersifat fisik, tapi juga perpaduan persepsi, pemikiran, dan amaliyah. Dengan kata lain, kaum cendekiawan dan civitas akademika di kampus harus memahami pesantren dan masjid. Kaum santri juga dituntut bisa memahami kampus dan masjid.
Tergambar dalam perspektif di atas kapasitas Pak Natsir seorang mujahid dan mujaddid dakwah yang berpandangan visioner. Dalam sebuah wawancara dengan Jurnal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pak Natsir mengatakan, apabila tiga unsur itu dipertemukan, niscaya akan menjadi modal utama pembinaan umat maupun pembangunan bangsa dan negara.
Pak Natsir selalu mengingatkan para sarjana dan calon intelektual Muslim yang sedang menempuh pendidikan agar memiliki wawasan keumatan. Siapa pun, apakah guru, dokter, insinyur, ulama, atau apa saja, jika sudah menghayati persoalan umat di lapangan, diharapkan akan bergerak maju memperbaiki keadaan.
Spesialisasi yang berlebihan, dalam arti tidak lagi ambil pusing dengan bidang lain, apalagi kalau dihubungkan dengan agama, justru mempersempit pandangan dan persepsi. Hal ini bukannya memecahkan persoalan, tetapi malah menimbulkan persoalan baru.
Pak Natsir pernah menyatakan tidak ada dikotomi antara agama dan urusan dunia. Karena itu, jangan kita membiarkan orang memisahkan antara ulama dari intelektual Muslim. Keduanya mempunyai intellect, daya pikir dan daya cipta, yang dalam istilah Alquran disebut ulul albab.



E. Dr. Mohammad Natsir Adalah Arsitek Da’wah
Sepanjang hayatnya selama 84 tahun, banyak yang telah beliau berikan. Dia menjadikan dakwah sebagai perjuangan dan tidak pernah surut dari medan dakwah sampai ajal. Dakwah dilakukannya dengan lisan, tulisan, maupun dengan amal, dan teladan yang baik. Beliau dapat disebut maestro dakwah dan arsitek dakwah yang tidak mudah mencari penggantinya.
Dakwah, menurut Natsir, usaha sadar mengubah seseorang, sekelompok orang, atau suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan rasul-Nya. Dakwah mempunyai dua sisi yang komplementer, yaitu membina umat dan memelihara atau membentengi umat dari bahaya yang batil.
Menurut beliau, dai atau juru dakwah yang unggul tidak menciptakan banyak musuh, melainkan mencari teman sebanyak mungkin. Di dalam buku Fiqhud Da’wah diutarakan bahwa kaifiat (metode) pelaksanaan dakwah tidak bisa dipisahkan dari isi dakwah yang hendak disampaikan itu.
Dalam buku itu juga dijelaskan akhlak adalah tiang dakwah. Dakwah dan akhlakul karimah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Banyak hal sulit yang tak dapat diatasi dengan semata-mata ilmu pengetahuan, tapi dapat diatasi dengan akhlak. Sebaliknya, banyak kesulitan yang bisa timbul bila dakwah tidak didukung oleh akhlak. Di sisi lain, tegak atau robohnya dakwah tergantung kepada tegak robohnya jiwa pribadi pembawa dakwah.
Pak Natsir sering mengatakan bahwa sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, setiap Muslim sesuai kesanggupan masing-masing memikul kewajiban dakwah. Tiap-tiap kita adalah dai pengemban tugas dakwah. Tukang becak yang Muslim mempunyai tugas dakwah. Ia yang menjemput dan mengantar pulang ustadz dalam suatu pelaksanaan dakwah. Saudara marbot (penjaga) masjid mungkin buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Tetapi, tugas membersihkan masjid, mengurus air masjid, menjaga keamanan sandal, adalah termasuk pelaksanaan dakwah. Marbotlah yang mengurus semua itu. Dengan tugas itu, marbot menjadi dai.’’ ”Yang jadi pejabat atau pegawai, dia adalah dai. Karena dengan kedudukannya, pelaksanaan dakwah dapat berjalan lancar. Yang kaya, yang mendapat kekayaan dari Allah, mungkin tidak bisa naik mimbar, tetapi dengan infaknya dia menjadi dai.
Pada saat menerima Penghargaan Internasional Malik Faisal tahun 1980, Pak Natsir mengucapkan pidato, Sekarang kita menghadapi tantangan, setelah negara-negara kita merdeka. Sebab, tujuan kita tak sekadar merdeka politis semata-mata. Tetapi adalah benar-benar kembali kepada Allah dan kembali kepada Islam, baik bentuk, isi, tingkah laku maupun komitmen. Kita tidak akan berkecil hati menghadapi tantangan-tantangan itu. Sebab, yang menimbulkan tantangan-tantangan tersebut terperosok dalam kegelapan. Dan ini hendaknya menjadi pendorong bagi kita untuk menyampaikan kepada mereka ’nur’ yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Nur yang menerangi kegelapan. Dan di bawah nur ini urusan dunia dan akhirat menjadi baik. Itulah nur Islam.
Menurut Pak Natsir, kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni serta tidak bercampur-aduk dengan bid’ah, khurafat, dan takhayul. Mengenai pengertian modernisasi dalam Islam, Pak Natsir mengatakan bahwa modernisasi justru kembali kepada yang pokok atau keaslian, kembali kepada esensialitas Islam. Tajdid tidak lain mengintroduksi kembali apa yang dulu pernah ada, tetapi ditinggalkan.
Mengenai persatuan umat, Mohammad Natsir mengatakan bahwa umat Islam sekalipun menghadapi bermacam cobaan dan terkadang sampai bercerai-berai, tetap ada seruan Kitabullah dan Sunah Rasulullah, yang memanggil mereka kembali ke jalan yang benar. Hal ini disampaikan beliau yang saat itu terbaring di rumah sakit dalam pidato taushiyah yang direkam melalui video untuk acara Silaturrahim dan Tasyakur 24 Tahun Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tanggal 26 Mei 1991.
Pak Natsir adalah pemimpin dan pejuang yang selalu memiliki optimisme terhadap masa depan Islam di Indonesia, betapapun beliau merasakan beragam tantangan silih berganti dihadapi kaum Muslimin dari segala penjuru yang tidak senang agama Allah ini tegak kokoh di muka bumi. Beliau berpesan kepada kader-kader dakwah dan umat Islam pada umumnya, Marilah kita melihat tiap-tiap persoalan yang kita hadapi dari masa ke masa, sekarang atau yang akan datang, sebagai ujian, sebagai ibtilaa’ yang silih berganti. Dan tidak usah kita menyembunyikan diri dari padanya, tetapi kita harus hadapi dengan iman, dengan warisan Rasulullah SAW, kitabullah wa sunnatu Nabiyyih.
F. Kesimpulan
Mohammad Natsir adalah ”Inspiring people” bagi pergerakan Islam di Indonesia, spirit Islam memadu sempurna dengan gerak langkahnya. Berbagai pemikirannya relevan bagi pergerakan-pergerakan Islam yang ingin membangkitkan kejayaan Islam sebagaimana telah di janjikan bahwa Islam akan kembali menjadi sebuah peradaban besar dunia, seperti halnya dulu selama lebih dari 10 abad eksis menjadi sebuah peradaban besar/adidaya dunia, yang sekarang baru kurang dari 1 abad kepemimpinan peradaban dunia dipegang oleh barat dalam hal ini Amerika dan Eropa. Peradaban pasti akan terus bergulir seperti roda peradaban dunia.
Untuk konsep pemikiran da’wah M. Natsir mencoba memberikan Dua poin yang perlu di cerna antara lain:
1. Natsir menilai kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni.
2. Masjid, pondok pesantren, dan kampus adalah tiga pilar yang tak terpisahkan.
Dua poin di atas bisa terjadi dan menjadi bukti apabila kita melaksanakannya. Oleh karena itu kita berharap semoga akan muncul natsir-natsir muda yang berjuang demi Islam tanpa pamrih kecuali balasan dari Allah SWT.
Wallahua’lam Bissowab.
Referensi
M. Natsir Konsep Da’wah dan Pemikiran
Tiga Pilar Da’wah Dalam Pandangan Dr. M. Natsir, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin dan Fuad Nasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bubuhkan komentar anda