Minggu, 28 Juni 2009

MENGHORMATI TAMU

“Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Nabi saw.: Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, hendaknya menghormati tamunya. Dan siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian hendaknya menghubungi famili. Dan siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, harus berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari, Muslim)
Satu hal yang mestinya mengembirakan kita adalah apabila dikunjungi oleh sanak saudara, kerabat, sahabat, ataupun orang yang belum dikenal dengan suatu urusannya. Di tiap-tiap keluarga yang dititipi kecukupan dan kelayakan tempat tinggal, selalu disediakan ruang tamu. Lalu, ruang tamu pun dihiasi dengan kursi atau sofa tamu. Pada keluarga-keluarga tertentu, ada pula disediakan ruang untuk tamu biasa dan ruang khusus untuk tamu istimewa. Semua demi upayakan menyambut tamu dan memuaskannya.
Adab memuliakan tamu adalah adab kaum Muslim. Rasulullah saw selalu memuliakan tamunya, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan rakyat biasa. Tamu yang datang diyakini sebagai pembawa rezeki dan penggugur dosa-dosa manakala ia pamit pulang.
Di antara adab memuliakan tamu adalah menyambutnya dengan wajah menyenangkan, mempersilakannya duduk, menyuguhkan makan dan minum, dan memenuhi hak tamunya. Bahkan, ada anjuran seperti yang disampaikan Imam Bukhari bahwa tuan rumah hendaknya melayani tamunya sendiri seperti menyuguhkan minuman dengan membawa napan sendiri dari dapur ke ruangan tamu. Sikap ini menjadi penghormatan tertinggi tuan rumah terhadap tamunya. Akan tetapi, saat ini tuan rumah lebih banyak mengandalkan pembantu.
Ketika tamu pulang, tuan rumah hendaknya mengantarkan tamu sampai ke pintu atau kendaraannya. Tuan rumah tidak dianjurkan menutup pintu sebelum si tamu pergi. Demikianlah indahnya etika Islam dalam memuliakan tamu.
Rasulullah saw bersabda: "Seorang tamu datang beserta rezekinya, pergi membawa dosa-dosa tuan rumah, dan membersihkan dosa-dosa mereka." (HR Abu asy-Syaikh)
Sebaliknya, sungguh tidak disarankan kita menyambut tamu sambil bermuka masam atau berburuk sangka dengan maksud tamu kita. Berdoa lebih utama ketika menyambut tamu-tamu tidak dikenal agar memperoleh perlindungan Allah SWT dari kejahatan para makhluk-Nya.
Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang pentingnya menjamu tamu.
Suatu hari Rasulullah kedatangan seorang tamu dirumahnya. Dari penampilan tamu itu bisa langsung ditebak, bahwa ia orang yang sangat miskin. Waktu itu Rasulullah sedang bercakap – cakap dengan tamunya. “Saya sedang dalam kesempitan, ya Rasulullah. Tak ada sesuatupun yang aku punyai,” jelas tamu itu ketika ia dipersilahkan masuk kedalam rumah oleh Rasulullah. Begitu tamu itu duduk, Rasulullah langsung beranjak kebelakang menemui istrinya. Kepada istrinya dikatakannya bahwa ada tamu yang dalam kesusahan datang, “Kita sendiri tidak mempunyai apa – apa yang bisa kita berikan, yang ada hanya air putih saja.”
Mendengar penjelasan istrinya itu, Rasulullah sedikit kecewa karena ia tak berkesempatan menjamu tamunya yang sedang dalam kesulitan. Rasulullah balik keruang tamu menemui para sahabatnya. “Siapa diantara kalian yang bersedia menjamu tamu malam ini ? Ia akan beroleh rahmat Allah S.W.T.” “Saya, ya Rasulullah. Biarlah tamu itu menginap dirumahku saja.” Salah satu diantara para sahabat Nabi itu menawarkan diri, yaitu orang Anshar. Orang Anshar itu pulanglah. Sesampai dirumah ia menemui istrinya dan bertanya kepadanya tentang apa yang mereka miliki hari itu. “Ya, istriku. Tadi aku menyanggupi tawaran Rasulullah untuk menjamu tamunya yang sedang dalam kesulitan malam ini. Adakah makanan yang dapat kita jamukan untuk tamu kita itu ?” “Sesungguhnya yang kita miliki cuma nasi untuk anak kita saja. Kalau ini kita sajikan, maka anak kita tidak dapat makanan malam ini.” “Kalau begitu bujuklah anak kita untuk segera tidur agar ia tidak merasa kelaparan.” “Tapi bagaimana ya, Nasi itu tinggal sedikit saja, tidak cukup untuk berdua.” “Begini saja, waktu tamu itu sudah datang, dan pada saat saya persilahkan makan, kamu pura – pura tidak sengaja mengibaskan lilin itu sehingga padam. Nanti, tamu itu kita persilahkan makan pada waktu gelap. Saya akan menemaninya sambil berpura – pura makan juga. Bila selesai ia makan, maka usahakan lilin sudah bisa dinyalakan.” “Baiklah ya suamiku, aku akan melakukan hal yang seperti itu.”
Pada waktu tamu itu datang, maka dilaksanakanlah sandiwara tersebut. Esok harinya ketika orang Anshar dan istrinya bertemu Nabi, sebelum sempat berkata apa – apa. Nabi langsung tersenyum sambil berkata kepda mereka, “Aku benar-benar kagum dan hormat terhadap usaha kalian berdua kepada tamumu semalam itu.”
Allah SWT berfirman yang berkenaan dengan tamu:
Sudah sampaikah padamu cerita tentang tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman." Ibrahim menjawab: "Salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal." Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya lalu dibawanya daging bakar dari anak sapi yang gemuk dan dihidangkannya kepada mereka, Ibrahim berkata: "Tidakkah kalian makan?" (Adz-Dzariyat: 24 - 27)
Syaikh Salim Al-Hilali hafidhahullah menerangkan panjang lebar firman Allah di atas dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin. Ia mengatakan: "Ini adalah kisah tentang malaikat-malaikat yang mulia. Mereka mendatangi Ibrahim `alaihis salam untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan anaknya Ya`qub. Mereka lantas mengucapkan salam dan Ibrahim pun menjawabnya dengan sebaik-baiknya. Beliau tidak mengenali mereka sebab mereka datang dalam bentuk pemuda tampan, beliau sangka mereka adalah tamu-tamu sehingga beliau berkeinginan menjamu mereka dan memang beliaulah yang pertama kali menjamu tamu. Beliau menyelinap dengan sembunyi-sembunyi dan dengan segera beliau datang dengan membawa daging panggang dari sapi yang gemuk. Itulah makanan terbaik yang dimiliki yang beliau panggang di atas batu panggang. Kemudian beliau mendekatkannya kepada mereka dan mempersilahkan dengan ungkapan yang lembut dan penghormatan yang bagus: ‘Tidakkah kalian makan?’ “
Dalam ayat-ayat ini terkandung adab menjamu tamu. Beliau (Ibrahim ‘alaihis salam) datang dengan segera membawa makanan tanpa mereka (para tamu) sadari dan tanpa mengharap sebelumnya karena ungkapan (tuan rumah): ‘Kami akan menghidangkan makan’, tetapi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi, beliau menjamu tamunya dengan seutama-utama apa yang beliau dapati dari hartanya lalu beliau dekatkan dengan cara yang baik di hadapan mereka. Tidak dengan meletakkannya lalu berkata: "Silahkan mendekat!" Tidak pula dengan perintah yang memberatkan pendengar dalam sighat jazm, tetapi beliau mengucapkan: "Tidakkah kalian makan?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bubuhkan komentar anda